“Seseorang yang tidak profesional adalah mencampuradukkan masalah pribadi dengan pekerjaan yang diemban atau yang harus diselesaikannya. Begitu penilaianku terhadap Zinta. Tapi, orang yang mengatainya demikian, ternyata seseorang yang bukan tanpa cela. Di mata sahabat baikku, Nicky, aku dianggapnya lebih tidak peka. Intinya dalam hidup jangan buru-buru menilai buruk pada orang lain. Bercermin dahulu dan lihat sisi jelekmu yang harus cepat-cepat disadari dan diperbaiki.” (RAFFA)
“Maaf…., aku tak dapat berjuang lagi bersama Nobody Win,” kata Zinta datar. Sepasang stik drum diletakkan di atas meja. “Aku pastikan Rara tak menimbulkan kekacauan lagi.” Tanpa menunggu respons dari Raffa, gadis itu berbalik.
Rambut panjang yang dikucir kuda bergoyang-goyang menerpa punggungnya yang tegak seperti menunjukkan ketegaran. Menghilang di balik daun pintu.
Raffa duduk di sofa panjang. Risau di sorot mata ketika mencermati benda di permukaan kaca di hadapan. Susah payah membawa Zinta ke kota tanpa ketahuan untuk membelikannya stik drum yang baru. Sekarang benda itu tidak berguna tanpa pemakainya.
“Kemarin sekitar lima belas menit sebelum jam tutup asrama, saat aku mengambil barangku yang ketinggalan, aku mendapatinya tengah duduk di sofa ini,” ungkap Nicky yang sudah duduk di samping Raffa.
Raffa terperanjat. Ingat catatan kecil Zinta, yang diberikan padanya lewat adik kelas. Sepulang sekolah gadis itu pasti menunggu berjam-jam di ruang latihan. Dia menjadi merasa bersalah.
“Seharusnya ia berpikir ulang sebelum memutuskan berhenti. Ia tahu betul bahwa festival band hampir di depan mata,” desah Raffa menahan kesal.
Dia hanya bisa meluapkannya dengan mengubah posisi duduk. Kemudian, bersandar dan melipat tangan di dada. Hilang tenaga. Hilang harapan. Pincangnya Nobody Win memupuskan harapan untuk bisa ikut serta dalam festival band—sebuah ajang bergengsi untuk menunjukkan kualitas bermusik—dan akan terlewat begitu saja.
“Jika aku berada di posisi Zinta, aku akan melakukan hal yang sama,” timpal Nicky dingin.
Raffa menoleh cepat. Tidak mengerti dengan pernyataan sang pemain bas yang bertolak belakang, bahkan terdengar tidak bersahabat. Sudah dua kali ini nada bicara Nicky begitu pedas. Tidak biasa pula sahabatnya menunjukkan wajah angker tanpa seulas senyum. Seperti saingan yang sedang mengajak Raffa beradu mata. Tajam dan dingin.
“Ucapan yang kau anggap lelucon biasa, pasti akan diartikan lain oleh setiap gadis yang mendengar. Termasuk, perhatian dan kebaikanmu. Membawa kesalahpahaman.”
Raffa tercengang cukup lama dengan ucapan ketus Nicky. Dia sadar akan perhatian dan kebaikan yang dia berikan pada Zinta. Ingat akan hal bodoh yang dilakukan karena bertindak sebagai kesatria malam. Menantang bahaya membawanya ke kota. Barangkali, bunga-bunga cinta Zinta bermekaran saat itu. Akan tetapi, tidak dengan hatinya. Tidak ada yang bermekaran karena semua murni rasa kasihan dan atas dasar persahabatan satu band.
“Zinta memiliki alasan tersendiri kenapa ia berhenti. Baginya, tentu tak nyaman tetap berada di Nobody Win, sementara seseorang yang disukai justru menyukai orang lain.”
Senyap. Raffa menelan ludah susah payah. Selain tahu tentang Zinta yang menyukainya. Dia juga tahu bahwa gadis yang disukainya adalah Frea.
“Sampai kapan kau akan terus menyembunyikan perasaanmu? Bahkan, kita sekamar, tapi kau terus bungkam. Apakah aku masih kau anggap teman?” Ucapan Nicky masih terasa dingin.
Sahabat seperjuangan sejak kelas satu itu menyampaikan rentetan kalimat kekecewaan yang membuat Raffa tidak dapat berkutik. Tidak bisa menyela.
“Aku sudah menyadari perasaanmu sejak awal. Tapi, aku memang tak punya hak mencampuri urusan percintaan kalian.” Sekali lagi, ucapan Nicky seperti menampar Raffa keras-keras.
Kedewasaan sosok Nicky meruntuhkan egonya. Kepala tertunduk dalam. Mengakui kesalahan. Karena dia, semua menjadi berantakan. Karena dia, Nobody Win kehilangan drummer lagi. Sedikit kecewa dan apa boleh buat segala sesuatu tidak dapat dipaksakan seperti apa yang dia mau.
“Jika kau masih menganggapku sahabat, kita bisa memikirkan kelangsungan Nobody Win bersama-sama,” sahut Nicky lebih diperhalus.
“Kau tetap sahabat, apa pun yang terjadi. Maafkan aku,” timpal Raffa bersungguh-sungguh.
“Berceritalah tentang apa yang kau rasakan. Aku ini sahabatmu, sampai kapan pun!” Nicky melunak. Senyum kecil mulai tampak.
Raffa mengangguk membalas senyum. Kemudian, beradu kepalan tangan pelan sebagai gaya khas tanda persahabatan mereka.
***
Nobody Win kembali bersanding dengan gadis-gadis manis. Frea dan Rheena duduk di sofa panjang. Sementara Raffa duduk di sofa pendek dan di sampingnya, Nicky duduk miring pada bagian lengan sofa. Rahar berdiri—menunduk dalam—bersandar dinding dekat pintu. Tidak ada percakapan di antara mereka.
Hawa kesuraman boleh saja memenuhi ruangan itu, tetapi tidak dengan binar mata Raffa yang terang.
“Apa Nobody Win terancam bubar?” Isakan Rahar tidak tertahan, membuat hawa kesuraman makin menguasai ruangan.
“Maaf, sebagai leader, aku bahkan tidak bisa memberikan sedikit solusi untuk masalah Nobody Win ini.”