Chrysanthemum

DYAH UTARI, S.Pd.
Chapter #22

Mengukir Kenangan Terindah

“Yang mengajariku arti persahabatan adalah Nobody Win. Sekumpulan anak-anak yang tidak ada matinya untuk berkelakar mencari objek ledekan. Ada Raffa, Nicky, Rahar, dan Rheena. Karena merekalah aku dapat membuka diri untuk banyak teman. Terima kasih, bersama kalian aku dapat mengukir kenangan terindah. Bersama kalian aku dapat tertawa lepas. Melepaskan lara hati yang selama ini melingkupiku” (FREA)

Potret empat pemuda tersenyum lebar. Di sisi kanan dan kiri diapit Frea dan Rheena. Persahabatan yang terbalut dalam bingkai foto persegi panjang. Raffa—dirangkul anak-anak Nobody Win yang lain—membawa gitar berdiri di tengah-tengah. Nicky, Rahar, dan Tony sangat menyayangi dan juga menghormati leader mereka. Takjub pada aura Raffa yang karismatik. Menjadikannya berharga di mata teman-temannya.

Tersenyum gemas melihat gaya khas Raffa manggung. Menunjukkan lengannya yang berotot pada semua orang. Kaus tanpa lengan berwarna hitam. Kostum favorit yang menjadi pilihan—tampilan semua personel Nobody Win begitu kompak—untuk memperkuat identitas grup mereka saat mengikuti festival band. Tahun lalu.

Waktu makin cepat berlalu dan hampir penghujung masa sekolah, di Wilson Arts Senior High School. Ada resah ketika harus menjalani hari-hari di akhir-akhir tahun ketiga. Keresahan teramat dalam saat berlama-lama memandang foto kenangan bersama. Masing-masing menunjukkan senyum terindah. Sesuatu menyusup ke hati. Berdesir kuat membuat kedua mata berkaca-kaca. Mendekap erat mereka di pelukan. Membiarkan rasa bahagia dan haru bercampur aduk merasuk ke dada seiring pejaman mata.

“Istirahat, Rheen!” pinta Frea. Tak kunjung terlelap meski kelopak mata tertutup rapat.

“Sebentar lagi, Fre…,” jawab Rheena lembut.

Frea membuka mata perlahan. Rheena masih duduk ditemani lampu belajar. Peraih juara umum sejak tahun pertama itu tekun menghadapi buku besar di atas meja. Biasanya mereka belajar bersama, tapi ia penat sekali saat harus berlama-lama menghadapi angka-angka. Frea merasa tak sepintar Rheena hingga ketika lelah sudah mendera, ia memutuskan membenamkan diri di selimut tebal.

Sementara si genius akan terus berkutat selagi belum menemukan jawaban soal. Persiapan diri menghadapi Ujian Nasional begitu matang. Tinggal sebulan lagi. Ia menoleh dan memasang senyum lebar seolah tidak menunjukkan raut lelah sedikit pun. Frea yang sudah merasa nyaman di kasur membalas dengan senyuman manis, penambah semangat belajar untuk sang sahabat. Malam yang makin dingin menjadi pengantar tidur untuk Frea dan pengiring Rheena yang makin bersunguh-sungguh menggerak-gerakkan pulpen di atas lembaran buku tulis.

***

Gedung megah nan artistik Wilson Arts Senior High School tampak memesona di bias mata Frea. Pagi sedingin genggaman tangan Rheena yang membawanya memasuki pintu masuk tinggi menjulang.

Si pintar pun bisa tegang ketika menghadapi ujian penentu kelulusan. Dua sahabat mempercepat langkah di lorong sebelah kanan, dan mulai menaiki tangga ke lantai berikutnya. Ruang ujian menari-nari dalam benak.

Sepasang mata Frea berpapasan dengan pasang mata paling jernih di antara keempat personel Nobody Win. Senyum simpulnya memberikan semangat. Tony yang seharusnya libur, juga ikut menyemangati. Semangat dari sahabat adalah salah satu asupan energi untuk menghadapi ujian dengan lancar.

Keluarga yang sangat Frea cintai juga memberi energi yang luar biasa. Akhir-akhir ini, SMS hingga telepon Bu Ve dan sang papa sangat sering ia terima. Mereka selalu memberi kata-kata penyemangat dan menyalurkan cinta meski selama menjejaki Wilson Arts Senior High School, ketiganya sama sekali belum pernah berkumpul.

Menanti dengan sabar saat dua orang yang paling Frea sayangi itu menjemput. Ia berjanji akan menyelesaikan serangkaian ujian dengan sungguh-sungguh. Di sela-sela perjuangan itu, ia akan terus rajin membalas SMS karena mereka selalu mengisi ruang rindu di hati Frea.

“Maaf…,” izin Raffa, lalu menghapus air mata Frea yang menetes di pipi.

Frea tersadar dari lamunan. Raffa sudah berdiri dalam jarak dekat di depannya. Seolah-olah telah menangkap kemuraman hati Frea akibat menahan keinginan kuat untuk berkumpul bersama keluarga.

“Ayo…!” ajak Raffa meraih jemarinya. “Mentransfer keceriaan.”

“Kau ini…, ini namanya membagi kecemasan. Tanganmu sedingin es,” goda Frea yang kemudian melepaskan gandengan tangan Raffa saat Rheena, Nicky, Rahar, dan Tony melewati sambil berdeham keras-keras dan bersahutan.

Beberapa siswa lain yang juga akan mengikuti ujian, ikut memerhatikan sepasang kekasih itu, berbisik-bisik sesuatu, lalu berlalu cepat. Senyum dan kedipan sebelah mata Raffa seolah meminta Frea untuk tidak memedulikan orang-orang yang lewat. Frea mengangguk patuh. Tinggal berdua dalam keheningan. Di ujung tangga anak-anak Nobody Win yang lain sudah tak tampak.

“Setelah ujian selesai, aku pasti akan mengajakmu ke tempat spesial itu lagi,” kata Raffa memecahkan kekakuan.

Frea menggeleng. Dahi Raffa mengerut heran. “Bisakah kita membuat sebuah kenangan bersama dengan sahabat-sahabat yang lain…? Entah kapan lagi kita bisa berkumpul bersama jika kita telah lulus nanti dan meninggalkan tempat ini,” ungkap Frea dengan secuil rasa sedih membayangkan kebersamaan mereka tak akan lama. Pasti akan mengalami suatu perpisahan.

Lihat selengkapnya