“Kebohongan adalah suatu kesalahan fatal yang tidak termaafkan. Hubungan yang dilandaskan kebohongan tidak akan bertahan lama. Ketika kebohongan terbongkar, itu akan menimbulkan luka yang berkepanjangan. Luka karena tidak begitu mudah membuang perasaan untuk seseorang yang amat berarti walau ia sudah berbohong.” (RAFFA)
Akan tiba saatnya, Raffa pulang ke kota dan kuliah di sana. Tinggal bersama sang papa. Rela jauh dari mamanya, jauh dari Wilson Arts Senior High School. Dan menemukan jati diri.
Harapan yang membara seperti api unggun yang menggeliat-geliat di atas kayu-kayu kering. Kehangatan semu. Hatinya masih dicengkeram dingin.
Rahar yang dari tadi jongkok di sampingnya takut-takut menunjuk pada Nicky yang selesai mendirikan tenda. Dia meminta bosnya untuk berbaring di dalam tanpa berani memandang wajah.
“Kau saja…!” jawab Raffa singkat. Bergeming. Hanya isyarat bagi Rahar untuk berhenti memintanya ke tenda.
Raffa menatap kilatan api yang membakar ujung kayu hingga hitam legam menjadi arang. Pikiran kosong. Otaknya mendadak didesak-desak oleh pemikiran ganjil. Begitu seharusnya diriku, memberikan kasih sayang kepada seseorang meskipun harus kesakitan.
“Apa yang terjadi, Raf…?” Nicky mendekat dan memecah kehampaan.
Bahu Raffa ditepuk pelan. Tidak ada tanggapan lain, selain gelengan Raffa yang penuh keengganan.
“Istirahatlah, tenda siap ditempati…,” ucap Nicky mulai duduk di samping Raffa dan menggosok-gosokkan kedua telapak tangan di dekat api unggun.
“Har…, aku tadi menelepon sepupumu untuk membawa sesuatu ke sini. Coba kau pastikan apakah ia akan segera sampai!” pinta Raffa datar sambil melangkah memasuki tenda.
Raffa masih dapat mendengar kedua sahabat berbicara lirih. Ketika melirik keluar, Nicky membisikkan sesuatu di telinga Rahar yang membuat anak itu terkejut. Mata Rahar secepat kilat membeliak meminta kebenaran ke sorot mata Raffa.
“Lakukan dengan cepat! Pikiranku sangat kacau….!” teriak Raffa menyadarkan Rahar dari ekspresi kaget.
Pintu tenda ditutup. Di dalamnya, kekecewaan tampak menyaput wajah Raffa. Meratap sendiri sambil meringkuk miring berbantal kedua tangan. Hari bahagia yang diciptakan untuk memenuhi memori dan kemudian akan dikenangnya suatu hari nanti, hanya menyisakan kenyataan pahit. Malam dengan suara angin kencang di luar tenda telah merenggut semuanya. Tubuh tanpa daya menyimpan sakit di dalam dada. Tetap saja, yang dia rindukan hanya gadis itu.
Lama-kelamaan dia menyangsikan segala tentangnya. Apakah masih sepasang kekasih? Rahasia apa lagi yang Frea tutupi, sementara dirinya selalu bersikap terbuka? Tanpa sadar semua terjawab jelas di aliran yang meleleh keluar dari kedua mata Raffa.
***
(Kalung Berliontin)
Raffa dan Frea bergandengan naik ke tepian sungai. Duduk mengeringkan diri sambil menyaksikan teman-teman yang masih asyik bermain air. Perhatian beralih pada Frea yang masih terpaku kagum pada kejernihan dan kilauan air di depan mata. Sinar mata berbinar dan senyum makin hari makin manis. Raffa mendadak merasakan debaran yang sulit dikendalikan.
“Kau lihat apa?” tegur Frea canggung.
“Lihat kamu.”
Rayuan yang dilancarkan sedatar mungkin agar sikap salah tingkah menahan debaran tidak terbaca.
“Ada yang aneh?”
“Tidak.” Raffa geleng-geleng. “Bukan aneh, tapi luar biasa cantik.”
“Aku?” Frea tersipu-sipu.
“Bukan.”
“Loh…?” Frea melompong.
“Gadis yang mencuri hatiku.” Walaupun godaan Raffa lebih dahsyat dan lebih ekspresif, Frea justru tergelak, memegangi perut.
Tak mengapa. Kegembiraan seseorang yang disayangi adalah penyemangat. Seiring hati berbunga-bunga, tawa Raffa ikut meledak.
Di sela tawa renyah sang kekasih, Raffa menciutkan mata karena menangkap kilauan emas. Sebuah kalung berliontin bentuk hati, yang bisa jadi terdapat sebuah foto ukuran sangat kecil di dalamnya. Dan baru menyadari bahwa kalung itu selalu melingkar di leher mungil Frea. Entah kenapa baru sekarang tampak mencolok. Raffa penasaran hendak meraih.
Gadis cantik berhidung mancung begitu sigap menepis juluran tangannya, bahkan menggenggam bagian liontin, erat-erat. Mendapat reaksi demikian, sepasang mata Raffa melayang pada sinar mata yang dinaungi alis melengkung bulan sabit terbalik. Dalam diam, dahi Raffa mengerut.
“Ini hanya foto papa. Seseorang yang paling aku rindukan…,” ungkap Frea memalingkan muka. Mungkin ingin mengalihkan perhatian Raffa agar menghentikan pertanyaan lebih lanjut tentang foto di dalamnya.
“Itulah mengapa kau selalu memakainya.” Raffa mengangguk pelan, mencoba memahami sikap Frea.
Tidak ingin mendesak sang kekasih untuk memperlihatkan foto papanya. Memandang seseorang yang spesial tanpa bisa merengkuh hanya akan menambah duka. Dia seperti mengalami kesedihan yang sama walau lidah selalu menyangkal.
“Papa merindukanmu, Raf. Kunjungi papamu jika ke kota. Jangan menginap di rumah teman!”
“Rindu? Kalau rindu kopi buatannya, aku akui, iya.”
Begitulah Raffa selalu menghindari pembicaraan tentang “Orang itu”. Rindu? Rasa yang sejujurnya terukir di dasar hati. Makin jelas setiap kali memandang potret seseorang yang gagah dengan setelan jas hitam. Sorot matanya teduh dan senyumnya lembut sedang bertatap sayang pada anak kecil berambut klimis, kemeja rapi, dan bersepatu dalam gendongan. Ketika itu, Raffa berusia empat tahun.
Raffa, yang sekarang telah remaja, menyimpan dalam-dalam momen berharga itu di laci kamar, di kediaman pamannya. Hanya sebatas masa lalu yang tidak akan kembali. Dan, Raffa mencoba membuka sepotong kisah.