Chrysanthemum

DYAH UTARI, S.Pd.
Chapter #24

Sebuah Kesalahan

“Aku si perusak suasana hati. Seseorang yang ingkar janji. Aku ingat pernah mengangguk tanda memenuhi janji, bahwa aku tidak akan pernah menutupi apa pun. Namun, satu rahasia yang sejujurnya berat untuk diungkapkan, akhirnya terbongkar. Kau berhak kecewa dan marah. Umpatlah aku, tapi jangan membawa luka itu sendirian, jangan mendiamkanku, dan jangan menghilang begitu saja tanpa kabar. Yang aku butuhkan adalah waktu untuk menjelaskan. Setelah itu, kita tetap berbagi rasa seperti sedia kala, meski kau tak sudi memandangku lagi.” (FREA)

Angin kencang membuat Frea segera menutup pintu balkon. Ini lewat tengah malam dan ia hanya berkutat di kamar sambil menanti Raffa. Berharap pemuda itu cepat kembali. Malam ini harus bisa memaksanya untuk duduk dan mendengarkan penjelasan. Frea memohon dalam hati. Tak menyangka akan terjadi hal seperti ini. Bukankah siang tadi mereka masih bersenda gurau bersama. Kini, ia pergi entah ke mana dan Frea seorang diri.

Aliran deras meluap dari mata dan terus-menerus membanjiri pipi. Mencengkeram erat seprai dan kembali duduk agak ke tengah. Frea menekuri permukaan ranjang, tapi enggan berbaring. Menutup telinga rapat-rapat karena angin menerpa barang-barang di luar sana hingga terdengar bunyi-bunyi berisik. Bunyi itu membuatnya takut.

Aku benar-benar membutuhkanmu, Raf. Ini kesalahanku.

Kesalahan fatal yang pernah ia lakukan adalah tak jujur pada sahabatnya, Rheena. Kini, kembali terulang terhadap kekasihnya. Ia telah merusak suasana bahagia. Terluka dalam kecewa kala mengingat kembali keceriaan—duduk menghadapi berbagai makanan lezat yang ada di atas meja—bersama Raffa

***

Raffa cengengesan. Frea terpaksa menghentikan suapan makanan ke mulutnya. Senyum manis Raffa mengisyaratkan Frea untuk kembali melanjutkan makan. Di awal, ia tahu apa yang pemuda itu tertawakan. Meski menahan sekuat tenaga, Raffa akan tetap cengengesan lagi.

Sendok kembali Frea pegang, mengambil sesuap, dan dengan perlahan mendekatkan ke mulut. Tapi, beberapa helai rambut yang tergerai sedikit menutupi wajah. Sambil makan, ia pun harus beberapa kali merapikannya. Padahal masakan mama Raffa sungguh memanjakan lidah, tapi apa yang Frea lakukan menganggu kenikmatan menyantap.

Seseorang yang mengamati sedari tadi di seberang meja sana awalnya hanya menertawakan, sekarang juga merasa risi. “Aku sangat tak nyaman melihatmu makan seperti itu, nanti rambutmu kena minyak…!” seloroh Raffa yang kemudian tersenyum meledek.

Tiba-tiba saja ia beranjak dari kursi menuju wastafel. Setelah kedua tangan dicuci dan dilap sampai kering, ia mendekati Frea. Tak diduga, ia tak segera duduk. Ia merapikan dan menyatukan rambut Frea dengan kedua tangan. Mengangkat ke atas, bahkan terus memeganginya.

Frea sontak terkejut. Bergeming. Canggung meski hanya untuk bergeser andaikan Raffa terus bersikap demikian. Ia tepat berdiri di belakang. Takut jika pemuda itu akan mendengar debaran jantungnya yang begitu kencang.

“Aku akan membantumu seperti ini sampai kau selesai makan…,” ucap Raffa tulus seperti embusan halus menerpa daun telinga dan memasuki hatinya. Pelan, tapi menimbulkan desiran lembut.

“Jika begini, kau membuatku lebih tak nyaman!” tegas Frea untuk menutupi rasa gelisah, hingga ia harus susah payah menelan ludah.

Lihat selengkapnya