Chrysanthemum

DYAH UTARI, S.Pd.
Chapter #26

Melepasmu

“Kata ‘melepaskan’ dari mulut begitu mudah, tapi kata ‘melepaskan’ yang berkecamuk di hati begitu berat untuk dirasakan. Kata ‘melepaskan’ bagiku tidak seberat kata ‘melepaskan’ yang diucapkan seorang ibu pada anaknya.” (FREA)

“Apa ia melakukan suatu hal buruk padamu?” Pertanyaan tajam yang disampaikan dengan teratur dan lembut. Raut muka Pak Wilson pun terkesan tenang.

Lidah kelu. Kedua tangan yang bersembunyi di balik meja diremas-remas. Beberapa detik tanpa jawaban. Diikuti embusan napas berat Bapak Kepala Sekolah yang duduknya bersandar, tapi tidak tegak lagi.

“Baiklah, jika kau diam berarti laporan tentang perilaku Raffa di luar batas, aku yakini benar. Apa dia melakukannya di bawah pengaruh alkohol?” Pertanyaan bagai anak panah yang melesat ke jantung Frea.

Satu titik. Dua titik. Dan titik-titik berikutnya makin banyak. Menetes di pangkuan. Menunduk dalam-dalam dan terisak. Frea tidak mau mengingat lagi kejadian tadi malam, bahkan gamang untuk menjelaskannya secara detail. Kebisuan dan tangisan Frea mungkin sudah menjawab segala pertanyaan Pak Wilson, hingga gadis itu dipersilakan keluar.

Berjalan menekuri lantai dan menjauh dari ruangan yang seolah-olah tidak memberikannya waktu untuk bernapas. Menghitung ayunan kaki hingga membawanya ke suatu tempat. Tempat yang biasa ia gunakan untuk menggoreskan rasa dengan sejuta warna pada papan putih di hadapan. Namun, tidak kali ini. Kanvas masih putih bersih. Di dekatnya sama sekali tidak dipersiapkan peralatan lukis lain yang menunjang kemahirannya.

Frea duduk dengan tatapan kosong. Lurus-lurus memandang bayangan rasa bersalah. Ia seharusnya bicara. Apa yang dikatakan Pak Wilson tentang keponakannya terlampau menyimpang dari keadaan yang sebenarnya.

“Kau telah memisahkan seorang ibu dengan anaknya.” Derap langkah mendekat, tepat di sisi kanannya.

Sebaris kalimat yang menikam sontak membuat Frea hampir lunglai. “Bu...?”

Mata mereka beradu. Tiada ketajaman karena benci, tapi lebih ke cahaya suram hingga menggenang, meluap, dan berakhir dengan suara tangis pecah di antara keduanya.

“Hati ibu mana yang tidak hancur ketika melihat seseorang yang pernah memiliki andil membesarkan anak itu justru sekarang mengusirnya.”

Lagi-lagi, ucapan bagai sembilu menusuk dan merobek-robek perasaan. Menyadarkan dirinya sebagai sumber segala masalah. Entah mengapa suara-suara yang memojokkan dan menjadikannya penyebab segala yang terjadi, berdengung-dengung di telinga. Telapak tangan menutup keduanya rapat-rapat dan berlari keluar mencoba mengenyahkan suara-suara itu.

Terengah-engah. Sunyi. Berganti menghadapi beberapa pasang mata sendu.

“Fre...?” Rheena meraih bahunya.

“Raffa akan pergi ke kota. Ia diusir pamannya,” ucap Rahar lemah.

“Fre, sebenarnya apa yang terjadi setelah kami mengantar Raffa?” sahut Nicky.

“Bicaralah Fre, Raffa tidak melakukan apa-apa kan? Dia hanya mengatakan sesuatu yang menyakiti perasaanmu kan? Seperti yang kau katakan semalam!” sela Rheena penuh kecemasan.

Lihat selengkapnya