“Orang-orang yang sudah meninggal hanya akan menjadi kenangan. Seseorang di masa lalu tidak mungkin akan kembali lagi meski air mata darah yang keluar. Sementara orang yang masih terperangkap pada masa lalu adalah orang yang bodoh. Dan orang itu adalah diriku. Teramat bodoh karena melepas seseorang di masa depan dan menggoreskan luka di hatinya, hanya untuk seseorang di masa lalu. Dan akan selalu menjadi manusia bodoh karena mengakhiri masa penuh kenangan manis. Lebih memilih terpuruk dan terperangkap dalam kenangan menyakitkan. Hari ini, hari terakhirku di Wilson Arts Senior High School. Kini dan esok, apakah tidak ada lagi seseorang di masa depan? Apakah tak seorang pun? Apakah aku menjadi manusia yang kesepian lagi? Aku tak sanggup begitu lagi!” (FREA)
Awan berarak menemani pagi yang sepi. Wajah Frea tertutup mendung meski langit yang menaungi tampak cerah. Bahkan, hati terasa dingin di antara cahaya matahari yang hangat.
Lagi-lagi hanya tiupan angin yang datang. Orang yang dinanti, malah tak kunjung kembali. Frea duduk di rerumputan, meringkuk memeluk kedua lutut dan menggigil. Meratap sendiri sembari mengamati danau dengan permukaan tenang di antara hatinya yang kacau. Biasanya, Raffa menemani. Tapi, tanpa pemuda itu, keindahan itu tampak samar. Bagaimana jika ia tak datang sebelum aku pergi?
“Papa akan menjemputmu besok pagi.” Telepon sang papa semalam— kerisauan makin menjalar—masih terngiang-ngiang.
Frea berharap bertemu Raffa di tempat lain. Ia menggeleng pelan sembari mengeluarkan ponsel Raffa yang tertinggal. Entah mengapa Nicky dan Rheena memberikan padanya sebelum meninggalkan sekolah tercinta mereka.
Sengaja atau tidak, tertinggalnya ponsel ini mungkin pertanda Raffa tak ingin berkomunikasi dengannya. Sulit berharap sang kekasih akan mengabarkan keberadaannya. Kekasih? Pertanyaan yang ingin ia tujukan padanya langsung. Atau mungkin, sejak meninggalkan tempat ini, Raffa tiada sudi lagi menganggapnya demikian.
Tanda tanya itu buyar. Kedua tangan dari belakang meraih kedua bahu dengan lembut. Betapa bahagia dan terharu, sang papa benar-benar menjemput. Frea mendaratkan tubuh ke pelukan pelepas rindu. Merasakan kehangatan yang masih terasa sama seperti saat ia kecil dulu.
Di sandaran yang tak sekokoh dahulu, ia lebih banyak menangis. Seorang anak yang selalu membuat papanya khawatir. Putri satu-satunya, yang tak pernah memberikan kebahagiaan.
“Papa….” Pandangan Frea rapuh mencermati rambut memutih merata, kerutan-kerutan wajah, dan kantung mata sang papa.
Seseorang yang masih dianggapnya putri kecil, dipeluk lebih erat lagi dan rambut panjangnya dibelai lembut. Tak kuasa kelopak mata bagian bawah menyimpan genangan dan akhirnya meluap membasahi jas sosok terkasih.
“Jangan bersedih, Nak. Setelah ini, kita akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Kita kembali sekarang.” Frea tercengang, diam untuk beberapa saat.
Inikah waktunya aku meninggalkan tempat senyaman ini. Raffa? Ada yang berdesak-desakkan di dada.
Ayah dan putrinya itu berjalan bersisian dan memasuki rumah. Frea melangkah sambil menata hati agar tak limbung. Meletakkan kembali setiap kenangan pada tempatnya.
Kamar, tempat paling nyaman untuk menyantap sarapan, makan siang, makan malam, dan bercengkerama atau lebih tepatnya bertengkar kecil dengan Raffa. Mengingat-ingat momen bahagia itu sedikit dapat menarik bibir Frea sembari meletakkan ponsel Raffa di atas kasur. Menatap sejenak ke arah balkon, terdapat dua kursi, tempat pemuda itu selalu duduk memangku gitar dan bernyanyi dengan suara yang menghanyutkan, lebih tepatnya menyihir hati Frea. Dan membentuk not-not cinta.