Anak burung membuka mulut lebar-lebar saat induknya datang. Mata mereka terpejam, terhimpit mulut yang menganga . Tanpa tahu makanan seperti apa yang akan dimasukan oleh sang Induk, mereka tetap menganga.
“Bagaimana jika Ibu kalian memasukan ulat beracun? Oh, apakah kalian benar-benar hanya membuka mulut saat induk kalian datang? Bagaimana jika yang datang adalah seekor ular?”
Pertanyaan-pertanyaan itu berlarian di dalam benaknya. Benak seorang wanita yang sedang duduk di bawah pohon beringin muda. Dia sedang mendongak ke atas, mengamati sarang burung yang terletak pada ranting yang tak terlalu tinggi.
“Apa yang sedang kau lihat?”
Dia tak bergeming. Suara lembut itu tak mampu mengalihkan pandangannya pada anak-anak burung yang sedang disuapi induknya. Mungkin karena sebentar lagi dia juga akan menjadi induk bagi anak-anaknya.
“Hey.” Tangan sang suami menyentuh perutnya. Wanita itu menoleh, melepaskan pandangan pada keluarga burung untuk kemudian menatap suaminya.
“Sepertinya dia akan membesarkan anak-anaknya dengan baik. Padahal, rumahnya sempit dan tak beratap.”
Suaminya mengernyit. “Dia?”
Wanita itu mendongak lalu menunjuk ke arah sarang burung. “Ibu burung,” jawabnya.
“Hahaha, rumah burung memang begitu. Tidak memiliki atap.”
“Maksudku, seharusnya kita bisa lebih baik dari ibu burung. Kita punya rumah yang memiliki atap. Rumah yang aman dan makanan yang berlimpah untuk anak kita kelak.”
“Tentu saja. Kamu juga punya suami yang tampan dan kuat. Tidak seperti dia."
Istrinya tersenyum, namun senyumnya kemudian perlahan berubah. Dia tampak menahan rasa sakit.
“Akh!” teriaknya kemudian.
Suaminya langsung siaga. Sebab, sang istri memang sudah mengalami pembukaan tiga saat mereka datang ke rumah sakit pagi tadi.
“Sakit sekali,” gumam wanita itu sambil terus memegangi perut.
Suaminya memapah dengan hati-hati menuju ruang bersalin. Dokter memang menyarankan agar sang Isteri berjalan-jalan untuk merangsang otot jalan lahir sembari menunggu pembukaan selanjutnya hingga dia siap melahirkan.
Dua orang suster menyadari apa yang sedang terjadi. Mereka membantu pasangan itu untuk masuk ke dalam ruang bersalin.
Semuanya terlihat lancar hingga Dokter menghampiri suami yang cemas di luar ruangan.
“Apakah saya sudah diperbolehkan masuk, Dok?”
Dokter menggeleng. “Tekanan darah Ibu Mo sangat tinggi. Rahimnya tidak berkontraksi. Kami harus melakukan operasi.”
“Kami sudah siap.”
Tak banyak basa-basi. Prosedur operasi segera dilakukan. Pada awal kehamilan, Dokter memang sudah memberi peringatan bahwa kehamilan kali ini akan menjadi kehamilan yang merepotkan. Sebab, kondisi rahimnya sangatlah lemah.
Mo, menikah dengan Zhang ketika umurnya masih tujuhbelas tahun. Sepuluh tahun terakhir, Mo mengalami keguguran sebanyak lima kali, nyaris enam kali. Rahim Mo sangat lemah.
Sesuatu yang mengejutkan kemudian terjadi pada kehamilannya yang ke enam. Pasangan itu sudah pasrah saat Mo mengalami pendarahan hebat, padahal dia sedang tertidur pulas. Kasur mereka dipenuhi dengan darah segar.
Mo berteriak histeris saat terbangun. Namun teriaknya bukan soal darah yang telah menggenang di tempat tidur. Mo bermimpi aneh.
“Aku bertelur!” teriak Mo hingga membangunkan suaminya.
Zhang terkejut saat melihat darah sudah meresap di tempat tidur mereka. Dia segera melarikan isterinya ke rumah sakit. Tapi kali ini berbeda. Mereka tidak pulang dari rumah sakit dengan wajah murung karena Mo tidak keguguran meski mengalami pendarahan yang cukup parah.
Selama kehamilan, Mo dan Zhang sangat berhati-hati. Mo bahkan tidak banyak beranjak dari tempat tidur selama sembilan bulan penuh. Dia hanya beranjak saat ingin melihat matahari dan berjemur di balkon kamar.
Sembilan bulan berjuang, kini mereka mengalami kerisis terakhir. Mo nyaris pingsan saat proses bersalin. Tekanan darahnya sangat tinggi dan rahimnya tidak mau berkontraksi. Dokter memutuskan untuk melakukan operasi. Prosedur yang memang sejak awal disarankan oleh pihak rumah sakit.
“Anda boleh masuk,” ucap Suster pada Zhang.
Lelaki itu seperti ayam yang baru saja dibukakan kandang. Tanpa berpikir panjang, Dia berlari masuk kedalam ruang operasi sang Istri.
“Mo!” teriaknya.
Mo tidak mendengar teriakan Suaminya. Seluruh Indranya sedang tertuju pada makhluk kecil yang kini berada di pelukannya.
Langkah Zhang melambat. Perutnya seoalah dipenuhi oleh kupu-kupu. Menggelitik, memberi sinyal pada otaknya untuk memproduksi air mata kebahagiaan.
“Mo…itu…” Mata Zhang berkaca-kaca.
“Selamat, Tuan. Anda mendapatkan seorang Putri,” ucap Dokter.
Sementara Mo masih terpikat oleh keajaiban yang berada di pelukannya. Sembilan bulan dia menahan rasa rindu pada makhluk yang tinggal di dalam perutnya.