CIK MELATI BERJALAN MUNDUR

Magnific Studio
Chapter #2

Ratinem

Aneh. Suasana di pasar selalu aneh bagi Ratinem . Wanita tua berumur lima puluh delapan tahun itu sama sekali tidak suka dengan suasana hiruk pikuk pasar. Tapi dia harus menahannya. Sebab pergi ke pasar merupakan salah satu kewajibannya.

Ratinem sudah mengenal pasar itu selama sepuluh tahun lebih. Tapi dia tidak merasa semakin akrab dengan segala aspek di pasar tersebut. Bau tak jelas dari segala benda, bau keringat kuli-kuli angkut, suara berisik pedagang, suara nyaring pembeli yang berusaha menawar, serta suara bising kendaraan yang lalu lalang. Semuanya membuat Ratinem cemas.

Hari itu, seperti bisa, dia pergi ke pasar atas perintah majikannya. Ratinem pergi ke pasar sebanyak dua kali dalam sepekan untuk membeli kebutuhan dapur. Sang majikan sangat ketat prihal keuangan keluarga. Oleh sebab itu, Ratinem disuruhnya untuk belanja ke pasar tradisional secara rutin alih-alih belanja ke supermarket.

Ratinem menurut. Dia sangat menghormati majikanya. Dia tahu bahwa majikannya hanya galak disaat dirinya melakukan kesalahan. Jika dia menuruti semua perintah dan agenda dengan baik, sang majikan akan selalu royal kepada dirinya.

Bau tak sedap dari sayuran busuk menyeruak ke dalam saluran pernapasan Ratinem . Wanita itu buru-buru menutup hidungnya lalu membuka mulut. Saat membuka mulut, seekor lalat hinggap dibibirnya, Ratinem secara spontan menutup mulutnya kembali. Secara teknis, napasnya pun tersengal.

Ratinem memilih memutar balik langkahnya, menghindari satu blok berisi sayuran busuk. Padahal, akan lebih cepat sampai jika dia melewatinya saja. Kini, Ratinem harus memutar jauh demi tidak melewati blok pasar yang sangat tidak disukainya.

Orang-orang pasar tentu paham siapa itu Ratinem . Bagaimana tidak, seminggu dua kali selama lebih dari sepuluh tahun, wanita itu selalu pergi ke pasar tersebut tanpa absen sekalipun. Selalu dua kali dalam seminggu, yaitu pada hari senin dan kamis.

“Oh, Maaf Yu Rat. Saya lupa memberi tahu. Petugas belum sempat mengangkut sayuran busuk dari blok D,” sapa pedagang tahu yang melihat Ratinem putar balik.

Ratinem melambaikan tangan dengan cepat, dia terburu-buru karena perjalanannya masih jauh.

“Tidak beli tahu hari ini?”

Ratinem menggeleng sambil menatap penjual tahu sekilas, senyum tipis menghiasi bibir keriputnya.

“Lagak sekali. Majikannya saja kalau ke pasar lewat sini. Pembantunya malah sok bersih begitu,” bisik penjual tahu pada pedagang di sampingnya.

“Biarlah Yu. Kalau bersama majikan, dia toh selalu lewat situ juga. Tidak berani protes. Hidup sudah sulit kok ditambah sulit sendiri,” sahutnya.

Begitulah Ratinem . Soal majikan, dia tidak bisa memberontak. Seberapapun bencinya dia dengan bau busuk sayuran, jika bersama majikan, dia tidak akan protes lalu putar balik seperti hari itu. Semua orang di pasar pun sudah paham. Meskipun mereka selalu membicarakan Ratinem di belakang.

Selesai berbelanja, Ratinem selalu mampir ke warung soto Bah Mustofa. Warung soto betawi kesukaanya. Warung soto yang juga menjadi kesukaan sang majikan.

“Datang sendiri Nyak?” tanya Bah Mustofa. Panggilan laki-laki itu adalah Bah, versi singkat dari kata Abah.

Ratinem mengangguk saja. Dia memang tidak banyak bicara. Setelah meletakan semua belanjaan, dia memberi isyarat pada Bah Mustofa, baru kemudian duduk.

“Dua? Minumnya dua juga?” tanya Bah Mustofa setelah melihat isyarat tangan Ratinem .

Ratinem menggeleng, lalu mengangkat telunjuknya.

“Hokey!” teriak lelaki itu dengan semangat.

Seperti pedagang lain, Pemilik warung soto di tengah pasar itu juga sudah mengenal Ratinem . Tentu saja, perkenalan itu dijembatani oleh majikan Ratinem yang lebih dulu sering makan di warung tersebut.

“Nyonya Nyak sehat?” Dua mangkuk soto diletakan sekaligus di depan Ratinem . Wanita itu lagi-lagi hanya mengangguk.

Bah Mustofa memanggil semua wanita dengan panggilan ‘Nyak, dan memanggil wanita yang lebih kaya dari dirinya dengan panggilan Nyonya ‘Nyak. Entah apa maksudnya.

Lihat selengkapnya