“Tidak. Aku takut. Ada nenek gila di sana!”
Dua anak laki-laki sedang berdiri di atas jembatan kecil sembari memegangi sepeda mereka masing-masing. Mata mereka kompak memandang ke satu arah. Memandang sebuah Dusun yang terletak di seberang hamparan pesawahan yang cukup luas.
“Bagaimana kita bisa tahu kalau tidak mencoba? Ibu dan Ayahku sering main ke sana, tapi mereka baik-baik saja.”
“Mengapa mereka melarangmu untuk main ke sana jika Nenek gila itu tidak berbahaya?”
Anak itu tidak menjawab. Dia sendiri tak tahu mengapa Ayah dan Ibunya melarangnya untuk bermain ke dusun di seberang sawah itu. Pikiran liar anak-anak memang lucu dan sempit. Bukannya memikirkan kemungkinan masuk akal. Mereka malah memikirkan hal-hal di luar nalar.
“Mungkin karena ada hantu? Atau orang-orangnya aneh semua seperti Kodir yang tak pandai bicara itu? Katanya, di sana hanya ada lima anak termasuk Kodir. Yang lain pada mati gara-gara dibunuh oleh nenek gila!” lanjutnya.
Bulu kuduk mereka tiba-tiba berdiri.
“Kata Ibuku, tidak banyak rumah di dusun Jepun. Pantas saja jika tidak banyak anak-anak.”
“Bagaimana kalau kita tunggu si Kodir gagap saja?”
Kodir adalah teman satu kelas mereka. Dia tinggal di dusun Jepun. Dia memiliki kesulitan berbicara meskipun umurnya sudah sepuluh tahun. Oleh sebab itu, teman-temannya menambahkan kata gagap di belakang namanya.
“Aku setuju. Akan lebih aman jika kita bersama orang asli pribumi.” Pemilihan kata yang sungguh aneh bagi anak-anak. Pribumi.
Mereka memutuskan menunggu Kodir di atas jembatan. Sementara mata mereka terus menatap ke arah dusun Jepun yang terhampar di tengah pesawahan luas.
Dusun Jepun adalah sebuah dusun kecil yang terletak di wilayah kabupaten Kebumen. Sesungguhnya, tidak terlalu tepat jika Jepun disebut sebagai dusun yang terisolasi. Sebab, jaraknya tidak terlalu jauh dari kota kabupaten.
Hanya saja, lokasi dusun itu mirip seperti sebuah pulau di tengah lautan. Bukan lautan yang sebenarnya, melainkan pesawahan yang membentang luas mengelilingi daratan Jepun.
Dari dusun sebelah, dusun Jepun sungguh terlihat seperti sebuah pulau dengan banyak pohon kelapa dipinggir-pinggir daratannya. Pohon-pohon kelapa itu seolah sengaja tumbuh dengan mencondongkan batangnya ke arah sawah untuk menambahkan bumbu estetika pulau Jepun jika dilihat dari dusun seberang.
Sebuah jembatan kecil diatas sungai yang lebih mirip siring irigasi menjadi akses utama untuk menuju jalan utama dusun tersebut. Jembatan dan jalan yang hanya bisa dilewati oleh kendaraan roda dua dan mobil berukuran kecil.
Tak ada yang bertanya ataupun protes mengapa jembatan dan jalan menuju Dusun itu tak pernah diperlebar sejak dibuat pada masa awal kemerdekaan. Hingga tahun milenium sudah berjalan selama duapuluhtiga tahun, jembatan dusun Jepun masih tetap sama.
Ya, penduduk dusun Jepun tak mau memikirkan hal-hal yang tidak bisa mereka kontrol. Protes soal jembatan dan jalan yang kecil bukanlah sesuatu yang bisa mereka prediksi dan kontrol hasilnya. Semua keputusan tetap ada pada pemangku penguasa, entah bagaimana cara mereka memprotesnya.
Alhasil, Dusun Jepun tetap menjadi Dusun yang sama selama berpuluh-puluh tahun setelah Indonesia merdeka, atau bahkan jauh sebelum itu . Di saat dusun disekitarnya sudah mendapatkan listrik di awal tahun 1990 -an, masyarakat dusun Jepun baru bisa menikmati listrik pada awal tahun 2005 -an.
Dua puluh kepala keluarga tinggal di dusun itu. Tidak terlalu banyak memang, karena dusun itu tidak terlalu luas daratannya. Tujuh puluh persen dusun Jepun adalah area pesawahan.
Kodir si gagap nampak mengayuh sepedanya lebih kencang saat melihat dua anak laki-laki dari kelasnya berdiri di atas jembatan. Kodir mengira dia hendak kena palak atau kena rundung.