Jika menjadi minoritas adalah sebuah dosa, apakah menjadi mayoritas adalah Agung? orang-orang bermata bulan sabit sungguh sadar bahwa mereka tidak kalah jumlah. Mereka bukan minoritas lagi di jaman ini.
Jika bersatu, mereka bisa membentuk sebuah Negara di dalam Negara. Lagipula, bukan hal itu yang mereka inginkan. Mata mereka memang bulan sabit, tapi darah merah serta tulang putih mereka lahir di tanah ini.
Zhang dan Mo bimbang. Terlalu jauh Negeri nenek moyang mereka untuk disebut sebagai tanah air. Bukan hanya jauh secara badaniah, tapi jauh pula secara batiniah. Sementara di tanah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan, seolah terjadi penolakan tersistem untuk orang-orang seperti mereka.
“Kita mungkin kuat secara ekonomi, tapi lemah secara politik,” ucap Zhang pada Mo.
“Mereka sengaja melakukannya. ”Mo sedang merajut. Dia ingin membuat topi dari benang wol berwarna merah muda untuk bayinya.
“Keluargaku menjadi salah satu keluarga yang gigih menolak untuk berganti nama. Maafkan aku. ”Zhang menggenggam tangan Mo.
“Begitu juga dengan keluargaku. Buktinya, sampai saat ini aku masih menjawab Mo li Hua saat orang bertanya siapa namaku.”
“Beri aku waktu. Usaha kita tidak akan bangkrut seperti milik Kakekku. Mereka menyerah dan pulang ke kampung halaman. Tapi di sinilah kampung halaman kita. Jika kita menyerah, tidak ada yang bisa kita lakukan.”
Mo menghela napas. Dia membuat kesalahan dalam pola rajutannya. Pikirannya tiba-tiba kembali kepada keluarga burung di depan rumah sakit.
“Lucu sekali. Kita seperti tidak memiliki rumah. Padahal kita punya,” ucapnya.
“Keadaan akan membaik. Aku yakin.”
Pasangan itu memiliki usaha toko tembakau di salah satu pasar di Jakarta Pusat. Toko tembakau Zhanzhe adalah toko peninggalan keluarga Zhang. Toko yang sudah berdiri sejak tahun 1940 -an itu mengalami berbagai jenis goncangan sejak awal.
Usaha tembakau sendiri sudah cukup sulit dalam prihal perijinan. Belum lagi soal diskriminasi dalam kepengurusan administrasi yang selalu mereka dapatkan sejak jaman sebelum kemerdekaan. Setelah merdeka, bukannya membaik, keadaan justru semakin sulit bagi keluarga zhang.
Kakek Zhang dan sebagian keluarga lainnya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman saat situasi politik sedang tidak bagus. Toko tersebut kemudian diambil alih oleh Ayah Zhang dan pada akhirnya bisa sampai kepadanya hingga saat ini.
Zhang bermaksud berganti usaha sebab menurutnya, usaha tembakau tidak lagi menguntungkan. Banyak toko-toko baru yang lebih besar bermunculan. Bahkan pabrik-pabrik rokok modern terus tumbuh sehingga pencarian tembakau mentah tidak lagi seramai dulu.
Kendala pertama dan paling utama yang dia alami tentu saja bukan hanya perkara modal, tapi juga perkara birokrasi perijinan usaha. Zhang dan keluarganya belum mengajukan surat pergantian nama. Untuk mengurus perijinan bangunan atau toko baru, tentu saja Zhang harus berurusan dengan pemerintah.
“Kita lakukan saja. Aku pribadi tidak keberatan. Aku suka nama-nama Indonesia. Toh negera ini adalah tanah air kita,” usul Mo.
Zhang mengangguk paham, “Peraturan itu memang sudah lama dibuat dan tertulis di dalam undang-undang bahwa sifatnya tidak wajib. Tapi nyatanya, kita sama sekali tidak bisa bergerak hanya karena sebuah nama. Lucu, aneh sekaligus ironi.”
“Jadi kamu keberatan dan memiliki pandangan yang sama seperti keluargamu?”
Zhang menggelengkan kepalanya. “Tidak masalah bagiku. Aku hanya kesal karena berdiri diantara dua hal yang tidak bisa aku kontrol. Keluarga yang gigih mempertahankan tradisi dan Negara yang gigih membuang tradisi yang sedang dipertahankan oleh keluargaku.”
Meskipun rumit, perbincangan mereka berdua pada akhirnya menemui titik simpul yang pasti. Zhang sebagai kepala keluarga memutuskan untuk mengajukan pergantian nama keluarganya yang masih kental dengan nama nenek moyang mereka menjadi nama-nama yang katanya lebih ‘Indonesia’ demi mempermudah urusan dalam berbisnis.
Meskipun dalam keseharian, mereka tetap menggunakan nama-nama yang sudah tersemat sejak mereka lahir.
Tetapi mengurus pergantian nama bukanlah perkara mudah. Banyak teman-teman mereka yang berbagi cerita prihal pengalaman tersebut. Mulai dari menemukan nama yang cocok supaya Fengshui mereka tetap bagus sampai rumitnya birokrasi yang harus mereka tembus di dalam pemerintahan.
Selain waktu, mereka juga menghabiskan banyak uang hanya untuk mengurus pergantian nama. Keberadaan Calo tersebar di mana-mana seolah mereka tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan jasa mereka. Sebab, jika mereka tak menggunakan calo, urusan tersebut menjadi makin gelap, seperti jalan tak berujung.
Kurang lebih tiga bulan mereka berkutat dengan perkara tersebut. Waktu, tenaga dan uang pun terkuras. Tapi lagi lagi, mereka memang tidak diberi pilihan yang lebih baik.