Meryan Sutanto begitu manis. Pipinya bulat seperti bakpao, rambutnya hitam dan matanya menyerupai bulan sabit. Ratinem sangat menyayangi anak itu seperti dia menyayangi anak kandungnya. Meskipun dia tidak pernah merasakan bagaimana rasanya memiliki anak dari rahimnya sendiri.
Ratinem jatuh cinta kepada Mery sejak pertama kali bertemu, sepuluh tahun lalu saat anak manis itu masih berusia kurang dari empat bulan. Luka kehilangan yang menusuk di dalam hati Ratinem seketika sirna saat melihat Mery tersenyum manis kepadanya.
Kini, anak bayi itu sudah beranjak remaja. Usianya sudah sepuluh tahun lebih, hampir sebelas tahun. Rasa sayang Ratinem tidak berkurang sedikitpun, meskipun terkadang masa puber yang dialami anak asuhnya itu sungguh merepotkan dirinya. Ratinem seolah berdiri di tengah ranjau. Dia harus ekstra hati-hati supaya selalu berada di tengah, di antara Mery dan majikannya.
Majikan perempuannya sangat ketat terhadap Mery. Sementara Ratinem lebih memanjakannya. Jika diperhatikan, hubungan ketiga perempuan itu lebih mirip seperti Nenek, Ibu dan Cucu. Saat Mery terkena damprat sang Ibu, Dia selalu mengadu dan minta perlindungan pada Ratinem .
“Kamu kira kamu bisa merayu mami lewat Ibu Rat ya? Ranking berapa kamu kemarin? Janji Mami ‘kan tidak begitu. Mami akan membelikan kamu komputer saat kamu mendapat ranking minimal dua.”
“Tapi…ulangan caturwulan tiga masih lama, Mi. Masih satu bulan lagi!” bantah Mery.
“Janji adalah janji,” tegas sang Ibu.
Mery cemberut. “Mami pelit!” serunya jengkel pada sang Ibu.
Ibunya yang sedang sibuk melakukan pembukuan keuangan bulanan langsung meletakan pulpen dan menutup buku besarnya. Dia melepas kacamatanya, kemudian menghela napas panjang sembari menatap tajam kepada Mery.
“Kemari,” perintahnya dengan nada rendah.
Mery tiba-tiba menyesali tindakannya. Dia sadar bahwa sebentar lagi dia akan menerima konsekuensi atas tindakan spontannya.
“Cepat!”
Mery beringsut ke hadapan sang Ibu.
“Tidak kurang dari satu bulan lagi, Nak. Kamu harus belajar sabar dan tepati janjimu.”
“Tapi…” mata Mery mulai berkaca-kaca.
“Tapi Ibu sudah berjanji akan merayu Mami…” lanjutnya sembari menatap Ratinem dengan wajah memelas.