Seekor burung kuntul berputar-putar di atas dusun Jepun sebelum akhirnya hinggap di pucuk sebuah pohon. Saat burung itu hinggap, ujung-ujung dahan paling atas tampak bergoyang. Rupanya, burung itu tidak sendirian di pohon tersebut. Ada banyak burung kuntul lainnya yang hinggap di sana.
Habitat burung putih dengan paruh kuning itu masih sangat banyak di dusun Jepun. Sebab, mitos yang mengelilingi burung-burung itu menjadi perisai yang sangat ampuh bagi populasi mereka.
Warga dusun Jepun percaya bahwa burung Kuntul akan membawa keberkahan jika hinggap di pohon milik mereka. Oleh sebab itu, mereka membiarkan burung-burung itu hidup, bertelur, dan buang hajat sesukanya. Meskipun, saat menjelang musim kemarau tiba atau biasanya mulai terjadi pada bulan Mei, bau tai burung kuntul begitu menyengat di dusun Jepun.
Jika membiarkan burung kuntul hidup dengan damai adalah berkah, maka membunuhnya adalah sebuah petaka. Siapapun yang membunuh apalagi memakan burung kuntul, maka mala petaka akan selalu menempel pada hidup orang tersebut sampai pada keturunan ke tujuh.
Benar atau tidak mitos-mitos tersebut, tapi berkatnya, dusun Jepun menjadi desa yang sangat subur. Semua tumbuhan nyaris bisa tumbuh di sana.
Pagi itu, pada pertengahan Mei yang cukup terik, pada saat bau tai burung kuntul sedang menyeruak memenuhi udara dusun Jepun, nampak Nenek Gila sedang mendongak memandangi langit yang biru tanpa awan.
Wajah keriputnya seoalah tak mempan lagi dengan sengatan terik matahari siang. Seperti babi yang sepanjang hidupnya tidak bisa melihat langit jika dia tidak jatuh terlentang ke tanah, Nenek Gila pun nyaris bernasib seperti babi. Tubuh bungkuknya kian parah, sehingga semakin sulit baginya untuk mendongak melihat langit.
“Mbok! Masuk saja ke dalam. Panas begini jangan di luar!” seru seorang wanita dari seberang rumah.
Nenek Gila itu sering dipanggil Mbok oleh orang-orang dusun Jepun. Meskipun sebagain lagi memanggilnya dengan nama lain. Nama pemberian wanita yang dulu pernah hidup bersama Nenek Gila.
Mbok Bulus namanya. Hanya warga Dusun yang sudah tua yang mengetahui bagaimana Nenek gila itu bisa hidup sebatang kara. Meskipun mereka juga tidak tahu mengapa Nenek Gila menjadi gila dan berjalan mundur seperti itu.
“Jadi, dulu Mbok Bulus tidak gila?” tanya Naura, Kakak Kodir si gagap.
Pembahasan soal Nenek Gila alias Mbok Bulus tampaknya selalu menjadi perbincangan menarik bagi gadis-gadis, Ibu-ibu apalagi anak-anak di dusun itu.
“Kata Mbah Kakungku tidak. Mbok Bulus juga bukan nama aslinya.”
“Iya. Aku tahu kalau itu. Masa iya ada orang yang menamai orang dengan nama Bulus. Itu hanya nama panggilan.”
“Tidak tidak. Nama Bulus memang sungguh ada. Itu adalah nama Ibunya si Nenek Gila alias Mbok Bulus yang sekarang.”
“Hah? Jadi Mbok Bulus sekarang bukanlah Mbok bulus asli?”
Naura mengangguk. Bibirnya meniup kuku-kuku yang baru saja dilapisi dengan kutek berwarna merah menyala.
Perbincangan remaja-remaja puber itu masih akurat. Mbok Bulus yang gila dan berjalan mundur sekarang bukanlah Mbok Bulus yang dikenal orang-orang tua di dusun Jepun.
“Kata Kakung, Nenek Gila itu adalah anak haram dari Mbok Bulus asli,” imbuhnya. Perkataannya kali ini mulai meragukan.