Hanya satu hal yang membuat Mo ragu soal Ratinem. Umur.
“Bukankah lebih baik wanita yang sudah berumur? Mereka lebih banyak memiliki pengalaman dalam merawat anak.”
“Tapi dia tidak memiliki anak,” sangkal Mo.
“Dia sudah merawat sepupuku dan merawat anak sepupuku. Dua puluh tujuh tahun pengalamannya dalam mengurus anak. Apalagi anak yang dia rawat adalah anak orang lain? Menurutku, hal itu justru menjadi nilai lebih.”
Zhang mencoba meyakinkan sang Istri, sebab dia sendiri sudah sangat yakin untuk membawa Ratinem masuk ke dalam keluarganya.
“Baiklah,” ucap Mo pada akhirnya.
Seminggu setelah anaknya dimakamkan. Sepupu Zhang bersama keluarganya meninggalkan Indonesia. Zhang ikut mengantar ke Bandara sebab dia berkewajiban untuk membawa Ratinem begitu sepupunya itu pergi dan Ratinem tentu saja berada di bandara untuk melepaskan keluarga yang sudah membersamainya selama dua puluh tujuh tahun.
Air mata bercucuran pada tiap pasang mata, tak terkecuali Zhang. Setelah menyaksikan betapa tulusnya interaksi mereka, lelaki itu semakin yakin pada Ratinem. Di dalam lubuk hatinya, dia mengharapkan Ratinem bisa memberikan ketulusan yang sama pada keluarganya.
Mo sendiri mempersiapkan sambutan kecil untuk Ratinem di rumah. Dia mempersiapkan sendiri kamar yang nantinya akan ditempati oleh Ratinem. Selain mempersiapkan catatan yang berisi hak dan kewajiban, serta aturan-aturan untuk Ratinem, ternyata Mo memiliki sisi manis yang tampak tidak cocok dengannya.
Bayinya didandani selucu mungkin sehingga terlihat sangat menggemaskan. Pipinya bulat, matanya jernih, rambutnya lebat meskipun masih bayi. Ocehan kecil si bayi pun menjadi semakin intens akhir-akhir ini.
Suara mobil terdengar masuk ke dalam garasi. Mo sigap menggendong bayinya, lalu berjalan untuk membuka pintu.
Ratinem turun dari mobil dengan ekspresi datar. Pikirannya masih berada di bandara, masih berada di pemakaman. Baik pemakaman anak asuhnya maupun pemakaman kedua orang tuanya yang nyaris terjadi secara bersamaan.
Pikirannya belum kembali pada raganya hingga pada saat dia bertatapan dengan bayi bermata bening berbentuk bulan sabit. Mata yang mengingatkannya pada anak asuhnya yang baru beberapa hari lalu dimakamkan.
“Selamat datang...Embok…Eh Bibi…Hallo…aku Yan si anak manis…” ucap Mo begitu membuka pintu.
Bayi Yan tersenyum lucu memperlihatkan gusi yang belum nampak barisan giginya. Mata jernihnya menatap Ratinem. Orang baru yang menarik perhatiannya.
Ratinem terpaku beberapa detik, sebelum akhirnya membalas senyum Bayi Yan.
“Aduh bocah cantik. Bocah ayu…manis sekali senyummu...Aduuh…kenes sekali…”
Zhang yang sedang menurunkan barang-barang Ratinem menjadi sedikit terkejut. Sebab, dia belum melihat sisi Ratinem yang seperti itu. Sejak pertama kali berkenalan, wanita itu tidak pernah tersenyum dan bicaranya sedikit sekali.
“Masuk Mbok..Eh Bi…”
“Tuan dan Nyonya Wei biasa memanggil saya ‘Ibu’,” ungkap Ratinem .
“Ah. Boleh. Kalau begitu kami juga akan memanggil Anda begitu. Apakah Anda tidak keberatan?” tanya Mo.
Ratinem mengangguk, sementara matanya terus menatap Bayi Yan.
“Siapa namanya. Ah, maaf Nyonya, saya sudah pernah diberitahu oleh Tuan Zhang siapa nama anak kenes ini, tapi pikiran saya sedang tidak baik, jadi saya lupa…”
“Tidak apa-apa Bu. Kami maklum.”
Mo mengangkat satu tangan bayinya untuk melambai pada Ratinem, “Halo Ibu…nama saya Yan, artinya burung walet yang cantik, kuat dan pemberani.”
Bayi Yan tertawa riang karena tangannya dimainkan sedemikian rupa oleh Mo. Tak tahan melihat kelucuan itu, Ratinem langsung meminta ijin untuk menggendong.
“Maaf, tapi lebih baik Ibu cuci tangan dahulu,” ucap Mo spontan. Dia adalah Ibu yang protektif terhadap bayinya.