CIK MELATI BERJALAN MUNDUR

Magnific Studio
Chapter #8

Tikus bertaring

“Hey, Mery! Berhenti!”

Bocah laki-laki berlari ke arahnya. “Awas kau! Sebaiknya hati-hati. Bapakmu mau diusir dari pasar. Kau juga sebentar lagi diusir dari sekolah!”

Mery hanya tersenyum sinis, melongos dan tak peduli dengan omong kosong teman sebayanya itu.

“Sombong! Dasar lalat!”

Hormon bahagia sedang menyelimuti Mery, hingga ujaran kebencian Marko si bocah nakal yang selalu mengganggunya sejak dia duduk di kelas satu sama sekali tak mempengaruhinya.

Banyak sekali rencana yang sudah tersusun rapi di kepala Mery. Seperti janjinya kepada Sang Ibu, Dia akan mengejar peringkat ke dua di kelas. Sepulang sekolah, Dia akan langsung belajar sampai sore. Sore hari berhenti sejenak untuk menonton kartun kesukaannya. Malam hari kembali belajar sampai pukul sembilan.

Baru kali ini dia merasa sangat bersemangat dan senang memikirkan bagaimana dia akan belajar selama sebulan ke depan untuk mengejar peringkat tanpa menyadari bahwa sebuah tragedi besar sedang mencari jalan untuk menghantamnya tanpa ampun.

Situasi politik sedang sengkarut. Demonstrasi terjadi di mana-mana tidak hanya di Ibukota. Ban-ban yang dibakar di jalanan sudah menjadi pemandangan biasa pada paruh waktu pertama bulan Mei. Televisi-televisi menyiarkan kebrutalan aparat serta perjuangan orang-orang yang kontra dengan pemerintahan yang sudah berkuasa selama tiga puluh tahun.

Semua itu seolah tak akan berdampak pada Mery, gadis kecil bermata bulan sabit. Tapi, nasib dan takdir bukanlah sesuatu yang bisa dikendalikan. Dalam situasi chaos tersebut, orang-orang bermata bulan sabit sedang dikambing hitamkan.

Ratinem pergi berbelanja ke pasar seperti biasa. Suasana pasar cukup sepi. Mungkin karena harga-harga bahan pokok sudah menggila. Para Ibu mengeluh karena tidak bisa membelikan makanan yang layak untuk anak-anak mereka.

Proses tawar menawar yang alot sering terdengar hari itu. Beberapa dari mereka bahkan bertikai hanya karena si penjual tidak mau menurunkan harga telur barang dua ratus perak.

“Lu gila! Dua ratus perak bukan uang yang sedikit! Pergi saja sana! Pelanggan gue bukan hanya Elu!” bentak pedagang telur pada wanita paruh baya.

Ratinem bisa merasakan atmosfer yang berbeda sejak pertama kali dia masuk kepasar pagi tadi. Raut wajah orang-orang tidak seperti biasanya. Mereka nampak lebih ketus.

“Wah kalau Bu Rat sih tidak perlu pusing ya, Bu? Belanja tinggal belanja. Tinggal habiskan uang Nyonya, hehe” Sindir tukang tahu.

Ratinem hanya tersenyum.

“Eh, ngomong-ngomong Suami Nyonya baik-baik saja tokonya? Denger-denger banyak preman dateng kemarin.”

Ratinem tak tahu soal bisnis majikannya. Hanya saja, beberapa hari ini kedua majikannya memang sering berselisih paham soal masalah di toko.

“Kamu tidak diberitahu apa-apa Bu Rat?”

“Tidak. Saya hanya pembantu, Yu. Buat apa memberitahu saya soal bisnis?” jawab Ratinem.

“Sudah Yu, tolong berikan Tahu saya. Saya sedang buru-buru,” lanjut Ratinem .

Ratinem sedikit terpengaruh dengan pertanyaan tukang tahu. Biasanya, dia tidak akan mencampuri urusan majikannya. Tapi kali ini dia ingin mampir sebentar ke toko Koh Han dan melihat sendiri situasinya.

“Eh, Bu Rat. Kenapa tidak mampir!” seru Bah Mustofa.

Ratinem berhenti. “Nanti Bah. Saya mau ke Toko dulu.”

“Ha hay…! Gue tunggu lu ya!”

Ratinem mempercepat langkahnya. Dia pun terkejut saat sampai di depan toko milik majikannya.

“Tutup? Bukankah Nyonya dan Koh Han berangkat pagi-pagi sekali hari ini?” gerutunya.

Ratinem berdiri lama, berpikir apakah dia akan menggedor pintu toko atau tidak.

“Bu Rat, sedang apa?”

Suara seorang wanita terdengar dari arah toko seberang.

Lihat selengkapnya