Cincin di ujung lorong
3.Arga dan Sita bertemu di kegiatan bhakti sosial
Arga akhirnya menemukan thema yang tepat untuk karya ilmiah yang akan dipertandingkan sebentar lagi. Arga akan membuat Opini dan essay, menurut Arga karya ilmiah ini lebih akurat. Penulis dapat menyuarakan pesan-pesan moril kepada masyarakat di sertai data dan pendapat para ahli yang telah teruji kebenarannya. Karya ilmiah yang terbaik dan yang menjadi juara akan diterbitkan di surat kabar ternama. Melalui Opini,Arga seolah-olah bertidak layaknya guru besar yang bisa memberi solusi yang real atas permasalahan-permasalahan yang terjadi disekitar dengan data-data akurat. Menunda pekerjaan harian Arga untuk focus mengejakan karya ilmiah dengan pencarian referensi-refernsi yang menunjang pengerjaannya. Orang tua Arga cukup fleksibel memahami kesibukan Arga, tidak pernah menuntut macam-macam. Mereka selalu mengutamakan kebahagaian Arga.
Heru teman baik Arga juga selalu memberi dukungan sekaligus bantuan jika dibutuhkan. Mencoba menawarkan diri untuk menemani Arga ke perpustakaan untuk mencari literature. Heru merasa empati dengan Arga mengingat keterbatasan dana yang ia punya untuk menyelesaikan tugas-tugas pembuatan karya ilmiah. Heru pun memberikan tumpangan motor pribadi miliknya. Heru rela menjadi tukang ojek gratisan buat Arga untuk sekedar mengantarnya ke perpustakaan dan toko buku. Sebenarnya pihak sekolah menawarkan uang saku kepada Arga untuk mempermudah segala urusan dalam pengerjaan tugas ini. Tetapi Arga menolaknya dengan alasan belum ada hasil yang dia boleh berikan kepada sekolah. Bukan Arga namanya jika tidak berlaku jujur, di usia muda nya ini dia sudah cukup professional dalam menjaga kepercayaan sekolah. Integritas yang tinggi menjadi standard bakunya dalam menilai dan memandang sesuatu, makanya pihak sekolah sangat percaya dengannya. Ternyata nilai-nilai itu juga mendapat balasan yang setimpal dari yang lain yakni Heru. Temannya ini tidak keberatan mengantar Arga ke mana-mana, Orang tua Heru selalu berpesan untuk menolong Arga jika dalam kesullitan. Petuah inilah yang selalu dijalankan oleh Heru ketika bersama Arga. Pertemanan Heru dan Arga memang terkadang layaknya Doraemon dengan Nobita. Si Doraemon memiliki kantong ajaib yang bisa memenuhi permintaan Nobita. Akrab satu dengan yang lain, Karena sangkin akrabnya orang lain mengganggap mereka sepasang guy ataupun homo. Celoteh itu pun terkadang terdengar sumbang di telinga mereka tetapi mereka cukup bijak menanggapinya. Arga dan Heru tidak akan mengorbankan pertemanan mereka yang sudah nyaman dan saling percaya satu dengan yang lain hanya sepenggal atau sebaris kalimat yang menyakitkan. Memiliki teman layaknya sahabat bahkan seperti keluarga sendiri sangat sulit, yang ada pertemanan sekarang hanya sebatas kepentingan semata atau Take and gift. Bahkan yang sering kita temukan di lingkungan kita adalah teman di saat suka banyak tetapi teman disaat duka tidak ada. Atau yang lebih mengerikan lagi teman yang bersikap manis di depan tapi menusuk di belakang serta teman makan teman. Prinsip-prinsip itu memang bisa dikatakan tidak ada mewarnai persahabatan Arga dan Heru. Bahkan biaya makan selama diperjalanan pun terkadang ditanggung Heru sendiri. Jika dipikir-pikir untung Heru apa ya dari proyek tahunan yang dikerjakan oleh Arga? Sama sekali tidak ada! Bahkan Heru selalu menolak jika Arga memberi sesuatu. Persahabatan yang pantas ditiru tanpa embel-embel dan tanpa mencari keuntungan satu dengan yang lain.
Akhirnya motor sport berwana biru itu meluncur dengan kecepatan tinggi menembus sepanjang jalan perkotaan. Motor anak muda dengan sedikit renovasi dan sentuhan stiker-stiker funky di bagian badan motor, memberi kesan artistic yang sesuai dengan selera anak milineal seperti Heru. Pemberian kedua orang tua Heru disaat menjajaki ulang tahun yang ke-17 tahun. Motor itupun tiba tepat di sebuah parkiran luas depan perpustakaan kota yang dibuka setiap harinya. Heru mencoba memberikan usulan thema kepada Arga. Menurut pandangannya thema ini sering menjadi sebuah problematika di masyarakat.
“ Ga, gue punya usul gimana kalau thema yang kamu bawakan kali ini tentang Kasta. Menurut ku masalah kasta ini justru menjadi momok di tengah-tengah masyarakat yang dibilang modern ini. Tanpa mereka sadari ada saja oknum yang terus hidup pada persepsi ini. Nah ini saatnya lho kasih masukan melalui artikel kamu!”
“Boleh juga ide kamu! Saya seolah sebagai penasihat agung untuk semua kalangan tanpa batasan usia, pengalaman dan juga pendidikan! Masalahnya ada batasan ruang lingkup untuk topic bahasannya. Lebih menyoroti ke masalah pendidikan yang lagi marak terjadi sekarang ini!”
“ Tidak ada topic lain ya! Masa dari tahun-ke tahun yang di soroti hanya masalah pendidikan! Sementara yang menjadi consumernya adalah masyarakat dengan berbagai background. Opini kamu ini akan menjadi nutrisi buat mereka-mereka yang belum berpikiran modern tapi hidup di zaman modern!”
Heru memberangus begitu saja dan sesekali mengamati buku yang ada di sampingnya sambil mengikuti langkah Arga.
Tangan dan jemari Arga terus bergerak menapaki buku-buku yang tersusun rapi di rak buku.
“ Aku juga berpikir demikian bro! Tapi masalahnya dunia pendidikan itu tidak seperti yang kita pikirkan, Semua serba teratur. Kemampuan itu sudah di ukur berdasarkan usia walaupun kita bisa melakukan lebih dari yang seharusnya itulah yang di sebut ranah kognitif. Lho gak bisa berpikir sesederhana yang lho mau, seperti ibaratnya anak umur 5 tahun bisa mengerjakan perpangkatan yah selama bisa dimauin saja. Gak gitu bro ada ukuran kematangan dalam manjemen pendidikan itu. Coba lho pikir kenapa sewaktu duduk di sekolah dasar kita cuman disuguhin pelajaran tulis dan baca sementara di tingkat sekolah menengah kita disuguhi dengan aljabar yah itu tadi maksudnya. Jadi thema itu terlalu umum dan dalam maknanya, kita tidak bisa hanya menghubungkan ke pendapat para ahli tapi kita harus lakukan penelitian. Itu kita lakukan hanya di perguruan tinggi.
“Ohhh, thema ini tidak bisa hanya melibatkan literasi saja ya?”
“ Tidak bro kita butuh penelitian karena pendapat kamu itu belum sepenuhnya menjadi fakta dilapangan. Nah thema yang saya ambil kali ini adalah masalah kurangnya peran parenting dalam dunia pendidikan. Inilah masalah yang riskan terjadi di kota-kota besar seperti kita ini. Kesibukan orang tua selalu menjadi alasan untuk tidak memiliki quality time buat keluarga terutama anak. Banyak diantara kita yang kehilangan figure orang tua kita. Jujur saja jika orang tua kita tidak akan mampu menyelesaikan masalah kita 100% bro. Tapi ketika ada tempat untuk kita berbagi masalah itu suatu point plus. Petuah-petuah yang langsung kita dengarkan dari orang tua kita ibarat air yang menetes di kerongkongan kita yang sudah mulai mengering. Pelukan hangat dari orang tua kita turut menguatkan otot-otot kita untuk melangkah.
“Boleh juga ide kamu, Inilah gambaran masyarakat ibu kota, terjebak dengan rutinitas yang dianggap lebih bernilai daripada keluarganya, sehingga anak sebagai harta yang paling berharga menjadi terabaikan bahkan masa depannya pun rusak. Tapi kamu juga harus berikan solusi bagi orangtu yang terjebak dalam kondisi ini. Bagimana juga solusinya jika hal ini terjadi karena kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan.”
Ternyata perdebatan Heru dan Arga cukup membuat otak Heru memanas bagaikan kompor. Heru pun segera menyambangi rak langganannya untuk sekedar menurunkan suhu temperature kepalanya di pojokan ruang baca. Rak ini menjadi idola anak-anak remaja yang sengaja mencari hiburan dan bersantai-santai sambil tiduran di atas sofa. Buku komedi dan komik yang akan menjadi incaran Heru. Setelah mendapatkan buku yang dia sukai maka Heru bergegas mencari tempat empuk untuk membaca sambil merebahkan badannya. Heru pun cekikikan membaca buku yang sudah menjadi pilihan hatinya. Sesekali dia tampak menutup mulutnya dengan buku dan memegang perutnya karena tidak tahan dengan kelucuan yang di ceritakan oleh buku. Rasa capek karena tertawa membuat mata Heru meram karena turut digoda oleh kantuk yang menghinggapinya. Herupun tertidur pulas di atas sofa dengan mata yang tertutup dengan buku. Arga sangat memaklumi kebiasaan buruk Heru, selama belum mengganggu orang-orang di sekitarnya petugas perpustakaan pun turut memakluminya.
“ Bangun bro…!”
Arga menggoyang-goyangkan bahu Heru beberapa kali. Heru masih mengerlip dengan mata mencipit sambil perlahan melihat sekitarnya. Arga menghampirinya dengan nada sedikit kesal. Heru terkejut bukan kepalang setiap kali dibanguni Arga untuk pulang ke rumah.
“ Sorry Ga aku ngantuk banget…suer. Apakah sudah selesai?”
Ucapan Heru sambil memela-melas kedua matanya. Arga mengangguk sembari menyusun kembali referensi-referensi yang akan dijadikan acuan dalam pembuatan karya ilmiah.
Heru mengantarkan Arga sampai dirumahnya. Tampak pak Ikhsan yang duduk di ruang tamu sambil mencapit jenggot yang sudah mulai tumbuh. Dia sesekali mengamati berita petang di depan televise tabung yang menjadi andalan hiburan keluarga.
“Wassalamalaikum”
Arga dan Heru mengucapkan salam sambil masuk kedalam rumah. Pak Ikhsan pun membalas salam kedua anak itu.
“ Ohh nak Heru silahkan masuk!”
Sapa pak Ikhsan dan Bu Siti dari dalam rumah. Bu Siti yang sedang sibuk di dapur sedang mempersiapkan bumbu masak untuk nasi lemak . Setiap kali kerumah Arga, memang Heru selalu menyempatkan diri masuk dan bersilaturahmi dengan cengkrama-cengkrama singkat walaupun sebentar. Heru tidak pernah merasa sungkan di rumah Arga.
“ Minum dulu nak Heru”
Ucap bu Siti sambil membawakan teh manis dan sajian khas keluarga seperti gorengan ubi dan pisang yang selalu tersedia untuk teman-teman Arga yang berkunjung dan tamu-tamu yang datang ke rumah. Setelah mendeguk habis teh manis buatan bu Siti, Heru pun minta izin pulang kerumah mengingat waktu sudah mendekati maghrib. Begitulah keakraban antara Arga dan Heru yang saling menganggap keluarga satu dengan yang lain. Arga juga tidak merasa sungkan setiap kali berkunjung ke rumah Heru.
Dengan serius Arga berkonsentrasi mengerjakan tugas karya ilmiah itu. Arga berkomitmen jika malam ini tugas karya ilmiah itu harus selesai dan besok bisa di koreksi oleh ibu Tantry sebagai mentoring. Tumpukan-tumpukan buku seakan menggunung di meja belajar Arga. Dalam pembuatan karya ilmiah seperti Artikel, Arga tidak main-main dalam pengerjaan karya ilmiah ini. Sumber terpercaya dan terupdate selalu menjadi andalannya dalam menulis. Berkat konsentrasi penuh dan focus akhirnya target Arga selesai juga malam itu, ada ketenangan bathin yang Arga rasakan setelah selama ini merasa bersalah atas penundaan tugas yang ia lakukan.
Pagi itu Arga pun bergegas menuju kantor guru hendak mengantar hasil pertama dari goresan penanya. Dengan perasaan lega dan senang Arga meletakan tugas karya ilmiah beserta sumber-sumbernya di meja ibu Tantry pagi itu. Ibu Fitri yang menyoroti Arga di depannya menyapa Arga yang duduk sekitar dua meja di belakang Ibu Tantry.
“Halo Arga apakah kamu sudah sehat?”.
Arga menjawab sambil melempar senyuman manis kepada bu Fitri si guru matematika yang diberi julukan miss correction oleh anak-anak. Bukan tanpa alasan anak-anak memberikan julukan itu karena bu Fitri, itu karena ia selalu mengucapkan kata koreksi dulu di lengkapi tanda titik dan lingkaran merah sebelum mendaratkan centang hitam.
“ Sudah bu”
“ Apakah karya ilmiah untuk pertandingan minggu depan sudah selesai.”
Ibu Fitri bertanya untuk memastikan tumpukan kertas dan beberapa buku yang dia letakan diatas meja bu Tantry.
“Masih butuh untuk direvisi ulang bu. Semoga tidak banyak yang di revisi oleh bu Tantry”
Jawab Arga sambil izin keluar kantor guru. Bu Fitri pun memberikan kata semangat.
“ Semoga menang ya Arga.”
Arga pun menutup pembicaraan dengan menganggukan kepalanya. Mendekati pintu keluar, Pak Hartman memanggil Arga ke mejanya. Arga menghampiri pak Hartman sambil menunduk dan meminta maaf kepada pak Hartman. Dengan suara ngebas dan tegas pak Hartman mengingatkan kembali supaya Arga tidak melakukan kesalahan ini untuk kedua kalinya. Arga menunduk kemudian meminta maaf kembali kepada pak Hartman. Telephone genggam Arga segera dikembalikan pak Hartman setelah empat hari dalam masa penyitaan. Sembari menyerahkan telephone genggam itu ke tangan Arga, Pak Hartman mengungkapkan bahwa dirinya merasa terganggu dengan setiap bunyi pesan dan panggilan masuk yang menghampiri telephone genggam miliknya. Arga pun berlalu dari hadapan pak Hartman dengan hati yang gembira. Tak ingin buang waktu begitu di luar kantor guru Arga pun mengasingkan diri ke taman belakang sekolah dan mengamati setiap pesan dan panggilan yang masuk. Arga tampak terkesima dan bercampur aduk antara perasaan senang dan bersalah karena tidak bisa membalas pesan messenger dari Sita. Arga segera membalas pesan messenger Sita dengan kata-kata minta maaf atas kejadian ini. Arga menjelaskan jika terjadi incident yang tidak di inginkan di dalam kelas sehingga berimbas penyitaan sementara telephone genggam miliknya. Jemari Arga tak berhenti mengetik dan menjawab pesan yang masuk. Pesan dari ketua team yakni kak Susanto menjelaskan bahwasanya kegiatan bhakti social untuk hari Minggu akan diadakan secara gabungan. Moment ini bisa dikatakan jarang sekali terjadi. Apabila dilakukan berarti ada bencana besar seperti penanganan terhadap korban banjir bandang. Sehingga semua team harus bergerak bersama-sama untuk menolong para korban. Moment yang ditunggu-tunggu Arga dan Sita tentunya. Hati Arga sangat senang sekali hari itu.
Sita membaca jawaban pesan messenger dari Arga setelah dua hari nihil tanpa balasan. Sita minta tolong diberi masukan tentang pembuatan karya ilmiah yang baik untuk perlombaan minggu depan. Arga menyanggupi permintaan Sita tetapi setelah selesai menjajakan koran di lampu merah. Karena besok tepatnya hari Sabtu ternyata ada libur nasional jadi moment yang tepat untuk berdiskusi. Tanpa rasa gengsi Arga blak-blakan mengakui dirinya bekerja sebagai penjual koran meskipun itu di depan perempuan yang dia sayangi. Dari awal Arga tidak pernah menutupi siapa dirinya sebenarnya dalam ruang lingkup pertemanan, pekerjaan dan pelayanannya. Menurut Arga teman yang baik akan bisa menerima keberadaannya. Sita malah terkesima dengan pekerjaan yang dilakoni Arga sehari-hari. Perasaan salut yang timbul dibenak Sita dengan keterbukaan Arga. Satu point plus yang ia dapatkan dari seorang pria. Penilaian itu tidak pernah ia dapatkan dari beberapa pria yang mendekatinya. Menurut dia pria kebanyakan tidak pernah jujur kepadanya, sampai terbentuk stigma jika pria itu kebanyakan pembohong.
Arga bergumam dalam hatinya
“Inilah Arga yang sebenarnya seorang penjaja koran di perempatan lampu merah”.
Sesumbar yang terucap di hati Arga untuk Sita yang bukan lain adalah perempuan pujaan hatinya. Telephone berikutnya yang turut meramaikan adalah panggilan pribadi dari kak Susanto.
“ Hai Ga kenapa kamu tidak balas pesan ka2k.”
Arga menjelasakn kejadian yang tidak menyenangkan yang terjadi sekitar tiga hari yang lalu. Melalui telephone singkat dari kak Susanto, Arga mendapatkan arahan untuk kegiatan bhakti social yang akan dilaksanakan hari Minggu besok dengan tatanan yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Semua team bergabung dan berpartisipasi dalam kegiatan bhakti social yang akan diadakan di area bekas banjir bandang. Semua team di fokuskan untuk membawa perlengkapan yang diperlukan sehubungan dengan kegiatan esok hari. Kegiatan belajar mengajar akan dihentikan untuk pertemuan minggu ini. Arga menerima arahan dari kak Susanto sebagai ketua team mereka.
Sesampai di rumah Arga segera menyapa lemari kayu klasik tempat pakaian dan segala macam perlengkapan penting lainnya. Membongka-bongkar isi lemari pakaiannya sambil menata kembali dengan benar. Arga merasa pakaian yang dia punya tidak ada yang bagus dan keren seperti pakaian-pakaian kencan yang dimiliki teman-temannya. Arga tampak kebingungan untuk mempersiapkan penampilan terbaiknya untuk esok dan hari Minggu yang nota bene hanyalah aktivitas bermain dengan lumpur dan tumpakan sampah atau rongsokan yang sudah menumpuk. Tetapi karena moment ini sebagai kesempatan untuk bertemu dengan Sita sang pujaan hati, dia ingin tampil maksimal versi dirinya. Dari lipatan pakaian yang di buka satu persatu di bawah temaram lampu kamar ternyata tidak ada satupun pakaian yang layak. Bisa dikatakan Arga mengesampingkan penampilannya selama ini. Ibunya merasa heran dengan tingkah laku Arga. Ibunya mengintip gelagat anaknya itu dari balik pintu kamar Arga. Pakaian yang ada di lemari bisa dikatakan cukup kusam semua, sangat jauh dari kata layak untuk dipakai jalan-jalan atau kencan. Maklum Arga membeli pakaian hanya sekali setahun itupun pada saat moment lebaran. Pakaian yang dibeli dengan isi kantongnya hanya sanggup menyambangi pasar loak yang khusus menjual pakaian bekas brand dari Singapura atau Cina yang terkadang di obral dengan harga sepasang Rp10.000,00. Arga tidak pernah sekalipun memaksa kedua orang tuanya untuk membeli pakaian-pakaian mahal karena sadar dengan kondisi ekonomi keluarga yang tidak stabil. Arga merogoh isi celengannya dengan niat membeli pakaian baru yang layak. Ada uang sekitar Rp500.000,00 dari lembaran uang Rp20.000,00 dan uang Rp10.000,000. Arga sudah bersusah payah mengumpulkan uangnya selama ini. Arga memasukkan kembali sisa uang kedalam celengan ayamnya.
Arga memantapkan langkah dan meminta izin ibunya untuk keluar rumah sebentar. Dia mengayuh sepeda milik ibunya untuk melihat pakaian-pakaian di toko. Sangat sedih sekali ternyata uang yang dia miliki tidak cukup untuk membeli pakaian baru yang dipajang di toko. Terpaksa Arga mendatangi tempat penjualan pakaian yang murah di dekat pasar. Kedai atau grosir pakaian murah yang khusus untuk menjual baju-baju cowok dengan harga cukup terjangkau. Arga merogoh uang Rp 120.000 untuk satu kaos dengan kualitas medium. Perasaan sedih melihat isi celengan berkurang dari jumlah yang ada. Tapi demi pertemuan dengan Sita dia terpaksa melakukannya. Arga menyusup masuk kamar dan menyembunyikan pakaian yang ia baru beli dibawah bantal. Ibu Siti yang dari tadi memperhatikan gelagat Arga akhirnya menyingkap bantal dan membuka plastik yang berisikan pakaian. Ibu Siti tidak mau berkomentar apapun karena sadar ketika Arga melakukan ini kemungkinan ada hal penting sekali yang akan dikerjakannya. Arga memergoki ibunya di pintu kamar,
“Ibu ada apa”
Seru Arga terbata-bata, Ibu Siti menjawab dengan gugup dan berusaha mengalihkan pembicaraan.
“ Ibu pikir kamu dikamar toh, minta bantuin ibu di dapur maksudnya”
Ibu Arga bicara dengan nada memelas. Arga segera membantu ibunya menggoreng kerupuk untuk nasi lemak besok. Biasanya kerupuk dan kacang di goreng sore hari kemudian ditaruh kedalam toples yang telah dilapis dengan kertas atau koran. Ibunda Arga cukup terbantu dengan sentuhan tangan anaknya ini di sore hari atau malam hari jika tidak memiliki banyak tumpukan tugas dari sekolah. Arga juga cukup piawai membuat bumbu sambal untuk nasi lemak ibunya. Percakapan-percakapan ringan pun terdengar bersahutan dari dapur. Tetapi Ibu Siti tidak sekalipun menyinggung masalah pakaian yang barusan dia beli di pasar. Dia hanya merasa iba dengan kejadian itu seolah sadar keadaan tidak membuat dia mendapatkan pakaian yang layak dari ibunya. Sementara secara umur dia sudah cukup matang untuk menyukai lawan jenisnya. Tapi baju bagus pun dia tidak punya untuk membangkitkan rasa percaya dirinya sebagai seorang laki-laki. Setelah selesai urusan dapur, Arga menutup pintu kamarnya dan mencoba-coba pakaian kaos yang baru ia beli dari pasar di depan cermin kamar yang tergantung. Arga merasa sangat senang tetapi celana miliknya tidak ada yang layak semua tampak kusam. Hanya cocok di pakai kepasar dan keperempatan lampu merah. Jika Arga membeli sepasang baju dan celana jeans itu berarti dia harus merelakan seluruh isi celengannya terkuras. Arga hanya bisa mensyukuri apa yang ia punya.
Pagi itu setelah mengantar gerobak, Arga langsung berpamitan kepada sang bunda untuk pergi bersama temannya mengerjakan karya ilmiah. Ibundanya pun memberikan izin untuk Arga mengadakan pertemuan selama itu masih berada di jalur positif.
“jreng..jreng”