Saya tidak merasa hangat ketika teh manis panas melewati tenggorokan. Penatapan di sisi Danau Toba tetap saja dingin. Begitupun ketika mie kuah masuk ke perut, jelang subuh yang berkabut menambah gigil, tidak seperti biasanya. Dulu tempat ini adalah hentian yang saya nanti, ada kehangatan yang hinggap, tapi kini semua dingin. Saya sendirian. Tidak ada ibu, ayah, dan adik.
Wabah korona telah membuat saya harus pulang ke Nanggarjati Hutapadang hanya berteman sopir. Apa saya menangis? Tidak, sama sekali tidak ada air mata yang keluar ketika ibu, ayah, dan adik dikabarkan harus menjalani isolasi. Mereka terjangkit wabah penyakit seperti yang didera kabanyakan orang. Saya hanya bingung dengan keadaan itu. Ya, kenapa hanya mereka yang kena sedangkan saya tidak? Lalu saya harus bagaimana? Dengan siapa saya tinggal di rumah? Kami tidak punya saudara di Kota Medan.
“Kamu pulang kampung saja, ke rumah Kakek. Nanti kalau kami sudah sembuh baru kembali ke Medan, ya, Ari,” begitu kata ibu sebelumnya melalui video call, beberapa jam setelah dijemput satgas Covid-19, tepatnya setelah hasil swab keluar yang menyatakan hanya saya yang sehat.
“Anggap saja liburan, Ri. Bersenang-senang di sana, tapi Ari harus tetap sehat. Ayah sudah minta sopir kantor untuk antar Ari ke sana,” tambah ayah yang berada di ruangan yang sama dengan ibu dan adik.
“Enak kali Bang Ari...,” celetuk Ria, adik saya.
Ya begitulah, kini saya berada di Penatapan. Sopir mencari yang hangat sekaligus istirahat. Sejak ada jalan tol Medan-Tebingtinggi, perjalanan ke Tapanuli Selatan memang lebih singkat, tapi dia juga harus tetap istirahat bukan? Jalanan berkelok dan berbukit bisa berbahaya jika sopir tidak fokus dan mengantuk.
Saya memanggil sopir itu dengan sebutan Bang Idris. Dia bukan sosok baru. Setiap kami pulang kampung, pasti dia yang jadi sopir. Ayah memang dekat dengan dia, bahkan sudah seperti abang dan adik. Itulah sebab, dia sudah hapal dengan jalan yang akan kami lalui, baik melalui Gunungtua ataupun via Tarutung. Saya jadi tenang, tentunya.
Namun tidak seperti biasanya, perjalanan kali ini sepi. Bang Idris pun tidak banyak bicara. Dia menyetir dalam diam sejak dari Medan. Sesekali saja dia berkata kepada saya yang duduk di sisinya, di bangku depan.
“Kita lewat Danau Toba saja ya, Ri. Kalau dari Lintas Timur kurang cantik pemandangannya,” itu katanya begitu kami mendekati pintu tol Tebingtinggi.
Artinya, kami tidak akan melintasi Limapuluh dan Kisaran, sebagai gantinya akan melintasi Pematangsiantar hingga mencapai Penatapan. Setelah ini kami akan menjumpai Parapat lalu Porsea, Balige, dan Tarutung. Di kota terakhir yang berarti durian dalam bahasa Batak itu jalan terbelah dua. Arah kanan menuju Sibolga, Lintas Barat Sumatra, tentu bukan jalan itu yang kami pilih. Arah kiri, jalan menuju Salip Kasih, yang kami ambil. Di persimpangan Salip Kasih itu kami baru belok kanan menuju Pansurnapitu, Pahae, Sarulla, dan berujung di Alun-alun Sipirok. Di persimpangan ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan itu kami belok kiri, melewati Desa Bungabondar, Pekan Arse, dan Hanopan. Maka, tibalah kami di Desa Nanggarjati Hutapadang. Kampungku. Rumah kakek.
“Jangan sedih, Ri. Kemon Semangat!” tegur Bang Idris. “Jangan melamun, di bawah kita Batu Gantung lho,” tambahnya sambil tersenyum lebar.
Saya tertawa kecil saja. Perjalanan memang masih jauh, pagi nanti baru tiba. Tapi, bukan soal perjalanan yang jadi pikiran, ini tentang wabah. Kenapa bisa ada?
“Namanya musibah, kita harus tabah dan jangan terlena..., kalau lemah kita juga akan kena,” kata Bang Idris seolah tahu pikiran saya.