Sosok yang saya sebut itu cucu kakek juga. Seusia dengan saya. Dia anak Tulang Popar, abang ibu. Sejak kecil Dapot memang tinggal di kampung bersama kakek dan nenek. Tulang dan Nantulang Popar tinggal di Jambi. Mereka punya lima anak dan Dapot yang bungsu. Dapot sengaja dikirim ke kampung karena hanya dia anak laki-laki, jadi dia semacam dipaksa belajar bahasa dan tradisi kampung.
Kenapa? Ya karena dia bermarga, penerus silsilah.
Hal serupa juga dialami Bang Laung dan Bang Pontas anaknya Tulang Gading yang menetap di Pekanbaru. Bang Todung, anak Tulang Monang yang di Yogya, pun tidak bisa mengelak. Intinya semua laki-laki yang bermarga Batubara atau dengan kata lain keturunan kakek dari anak laki-lakinya wajib sekolah di kampung. Selepas SD, barulah boleh bebas.
Lalu kenapa saya bebas? Ini karena saya anak ibu yang tidak lain adalah anak bungsu kakek. Maksudnya, saya tidak bermarga Batubara. Ayah saya bersuku Jawa. Jadi, marga tidak bisa turun ke saya. Tinggal dan sekolah di kampung tidak diwajibkan untuk saya, namun bukan tidak boleh. Malah, kakek berulang kali meminta pada ibu, tapi tidak diizinkan karena adik saya perempuan. Dan, ibu hanya punya dua anak. Nah, sebagai gantinya, kami wajib pulang setiap lebaran. Beruntung ayah setuju karena ayah memang sudah yatim piatu sejak selesai kuliah.
“Sekolah dia ya, Kek?”
Kakek malah tertawa lebar. Kali ini kami sudah di ruang tengah. Duduk bersila di tikar yang menutupi celah papan.
“Sama seperti di Medan, di sini juga sekolahnya jarak jauh,” jawab nenek yang muncul membawa kopi untuk Bang Idris dan teh untuk saya.
“Pakai daring juga, Nek?”
“Gak, dari pematang sawah ke pematang sawah,” sambar kakek sambil tertawa keras.
Begitulah kakek, hobinya tertawa. Sama sekali tak ada kesan seram. Hal ini membuat saya selalu nyaman. Kakek memang jarang marah, sekalipun marah hanya ketika saya tidak ke masjid sebelah rumah untuk salat berjamaah.
“Sudahlah, Ompung Laung, biarkan mereka makan dulu,” kata nenek, kali ini sudah membawa piring dan mangkuk cuci tangan.
Setelah itu nenek ke dapur lagi dan kembali dengan dua mangkuk kecil daun ubi tumbuk, dua piring kecil berisi masing-masing satu ekor ikan mas bakar, dan dua piring kecil berisi cabai merah halus plus irisan bawang beraroma asam cikala. Seketika saya langsung berselera, lupa pada keluarga yang lagi terkena wabah.
Melihat hidangan itu Bang Idris tidak bisa diam. Langsung saja tangannya beredar, meraih mangkuk kecil dan dua piring kecil di depannya. Dia menyendok nasi yang diletakkan di dalam mangkuk besar berbahan kaleng. Lahap dia makan sarapan yang menurut saya lebih tepat untuk makan siang atau makan malam itu. Bang Idris pun sama sekali tidak berbasa-basi dengan menanyakan kakek dan nenek sudah makan apa belum. Ya, dia memang sudah paham kalau kakek dan nenek sarapan usai salat subuh, persis warga lain di kampung ini, setelah itu langsung ke sawah atau ladang.