Usai makan malam kakek mulai bercerita tentang kawasan tempat ladangnya berada. Dengan jalan kaki, perjalanan membutuhkan waktu satu jam lebih, melewati jalan setapak yang beriring aliran air. Di ujung aliran air itu terdapat irigasi tua alias purba. Irigasi itulah yang membagi air ke aliran sawah dan kebutuhan warga Hutapadang, Hutatongah, Napopar, dan sebagainya.
“Kakek tak ingat kapan irigasi itu dibuat, yang jelas sudah lamalah, namanya saja irigasi purba,” jawab kakek dari pertanyaan saya.
“Besok kami naik Nanggarjati, Pung,” sambar Dapot.
“Jangan bahaya itu, masih kecil kalian, ke ladang saja kalian ya. Tak ke puncak Batara Guru, ke kaki Batara Wisnu juga kan tak apa-apa,” kata kakek sambil tertawa yang membuat kening saya berkerut.
Ya, bagaimana tidak berkerut, dua nama ‘Batara’ untuk dua gunung itu baru pertama kali saya dengar. Kalau Batara Guru memang sering saya dengar, tapi Batara Wisnu untuk gunung satunya lagi?
Kakek pun langsung menjelaskan tentang Batara Guru. Itu adalah nama dewa dalam budaya Batak. Ceritanya gunung yang seperti kotak itu adalah patahan tangga sang dewa untuk kembali ke langit ataupun ketika turun ke bumi. Itulah sebab Gunung Nanggarjati disebut juga Gunung Batara Guru.
Sementara gunung yang berbentuk normal, lancip dan tidak kotak, di sebelah kanan Nanggarjati kalau dilihat dari kampung, adalah Gunung Batara Wisnu. Ini juga nama dewa, bukan Batak, tapi dewa menurut agama Hindu.
“Soal ini ceritanya panjang. Tak cukup semalam. Nantilah kapan-kapan kakek cerita ya,” katanya sambil tertawa sembari meninggalkan saya dan Dapot .
Dapot malah ikut tertawa. Dia memang sudah paham betul dengan karakter kakek yang suka menggantung-gantung cerita. Maklumlah, dia kan cucu ompung.
Oya, kenapa saya menyebut ayah dari ibu itu dengan sebutan kakek sementara Dapot memanggilnya ompung? Sebenarnya sama saja. Saya juga boleh memanggil beliau dengan sebutan ompung, tapi menurut nenek lebih bijak kalau pakai sebutan nasional saja yakni kakek. Kenapa? Ya karena keluarga kami adalah keluarga nasional tidak seperti keluarga Dapot yang Batak tulen, ibunya bermarga Siregar. Nah, ayah saya kan Jawa, jadi sebutan kakek dan nenek untuk orangtua ibu dianggap paling pas. Dengan kata lain, ini untuk menghormati ayah. Terserahlah, yang jelas sama saja menurut saya.
Yang tidak sama adalah rasa dalam otak saya tentang perjalanan besok. Terus terang saya penasaran dengan Gunung Batara Wisnu, apakah di sana ada candi?
Dan besoknya, kami meninggalkan rumah kakek sekira pukul tujuh pagi. Warga Desa Nanggarjati Hutapadang sudah ke sawah maupun ladang, termasuk kakek dan nenek. Perjalanan ini akan melewati sawah mereka yang kabarnya menghasilan 150 kaleng beras setiap panen. Terus terang saya tidak tahu soal ukuran itu. Bagi saya, ukuran beras hanya kilogram dan ton saja. Atau, ya, ukuran karung.
Tapi ya sudahlah, saya tidak ambil pusing. Bahkan, dalam setiap kali Lebaran atau perjumpaan dengan kakek, tidak pernah saya tanyakan soal itu. Yang jelas, beras kampung luar biasa nikmat. Warnanya memang tidak seputih beras yang biasa ibu beli di minimarket tapi rasanya tidak terlawankan.
Dapot jalan di depan. Sejak melewati masjid jalanan memang mengecil, lebih besar dari pematang sawah tapi tetap sempit juga kalau jalan beriring, apalagi kalau berpapasan orang lain. Tidak jauh kami melangkah sudah terlihat kakek dan nenek di sawah, letaknya terpisah dua petak sawah dari jalan yang sedang kami pijak. Kami tidak menegur mereka yang terlihat sibuk, bahkan kami seperti berharap kakek dan nenek tidak melihat. Bukan mau mencari dosa, tapi tidak sedap rasanya kalau teriak-teriak. Dan, mereka juga sudah tahu kami mau ke ladang bukan?
Dapot berjalan cepat. Saya juga. Gerimis dan sedikit kabut menambah semangat kami. Sayang kabut membuat Batara Guru dan Batara Wisnu samar terlihat. Tapi itu bukan masalah, pasalnya jalanan yang telah disemen ini memang hanya menuju kaki dua gunung itu.