Ucapan Dapot ternyata bukan isapan jempol. Meski tidak ada air terjun, namun ladang kakek cukup menawan. Kami berbelok ke semacam gerbang, jalan kecil yang diapit pohon pinang, dan terlihatlah pemandangan yang tidak biasa. Tanah menurun yang dipenuhi pohon kopi.
Selepas barisan pohon kopi terdapat parit kecil berair bening. Di seberangnya, di tanah yang lebih datar, rimbunan pohon aren dengan jarak yang tak rapi menggoda mata. Sebuah gubuk ada di sana, berbentuk rumah panggung.
“Itu rumah yang jaga, kalau hari Minggu dia turun dan baru naik lagi Selasa, jadi kita aman,” terang Dapot sambil terus menuruni ladang menuju rumah penjaga itu.
“Tapi ini kan ladang Kakek...”
“Memang. Tapi kalau ada dia dipastikan tak enak. Cerewet kali dia.”
“Orang mana?”
“Masih saudara. Dari marga Siregar.”
“Saudara Nenek?”
“Iya, anak sepupunya.”
Saya hanya diam, tidak tahu harus bicara apalagi. Mata saya malah tertuju pada pohon kopi yang ternyata pendek-pendek. Setahu saya pohon kopi itu tidak sependek ini, bayangkan saja, tingginya tidak sampai dada saya. Apakah masih baru tanam? Tapi, kok sudah berbuah?
“Kok pendek...” tanpa sadar keluar suara dari mulut saya.
Dapot tertawa mendengarnya. “Namanya juga kopi ateng.”
Ya, ateng. Betul-betul ateng.
Saya tidak melihat ada benalu di batang pohon kopi itu. Pohon kopi biasanya berbenalu, tampaknya hijau padahal dipenuhi dedaunan kecil yang rapat. Saya jadi teringat orangtua tetangga di Medan yang selalu meminum air rebusan benalu kopi, katanya, untuk obat sakit gula.
“Jangan bilang kau tak tahu kalau gula merah dibuat dari air aren?” tanya Dapot sambil senyum-senyum sendiri.
Saya tertawa. Saya tidak sebodoh itu. Saya bahkan tahu kalau air aren atau nira atau bargot dalam bahasa kampung itu tidak hanya menghasilkan gula merah. Dia bisa memabukkan setelah dijadikan tuak!
Bahkan, terekam dalam otak saya bagaimana cerita-cerita tentang pohon aren, baik dari Tapanuli Selatan maupun Karo. Pohon favorit saya. Pohon yang seluruh bagian tubuhnya bisa dimanfaatkan. Daun aren yang tua bisa digunakan untuk membuat atap rumah sedangkan yang muda bisa digunakan untuk penganti kertas rokok. Lidinya digunakan untuk sapu dan kerajinan tangan. Selain untuk atap rumah, ijuk pohon aren juga bermanfaat untuk tali, sapu, sarang telur ikan, dan penyaringan air.
Buahnya? Jelas, kolang-kaling berasal dari sana. Satu lagi, selain dijadikan papan, batang aren juga mengandung tepung. Tepung aren ini bisa digunakan untuk bahan makanan, komestik, bahan baku industri, hingga pakan ternak.
Bahkan saya hapal cerita kakek yang mengatakan pohon aren juga dapat dijadikan alat penentu musim. Apabila air yang disadap tiba-tiba menurun, itu pertanda akan terjadi musim kemarau. Sebaliknya, bila airnya melimpah, pertanda akan musim hujan.
Jadi, jangan sepelekan pengetahuan saya soal aren!
“Sebentar lagi kita ke pohon-pohon aren itu, ya, kutipi biji aren yang tua,” kata Dapot sambil meluruskan badan di balai-balai yang berada di sisi rumah jaga.