Banyak yang bilang, jalan pulang lebih cepat dibanding jalan pergi. Dan, saya merasakan hal itu ketika pulang dari ladang kakek. Memang kami tiba di rumah kakek sekira pukul setengah enam, hujan rintik pun sudah tiba, tapi saya tidak merasakan letih. Saya masih sangat bersemangat.
“Bagaimana, cantik ladang Kakek kan? Capek?” sambut kakek.
“Capek,” serobot Dapot dengan mata berbinar.
Saya hanya tersenyum. Begitu juga ketika Dapot menunjukkan isi kantung plastiknya, kakek sedikit terkejut. Namun setelah memperhatikan dengan dalam, dia langsung tertawa. Sepertinya dia mengerti apa maksud Dapot.
“Ya sudah, simpan saja dulu itu. Besok Ompung ke Sipirok, sekalian beli keperluan kalian,” katanya.
Begitulah, kakek memang masih rutin ke Sipirok, setidaknya empat kali dalam sebulan. Baginya ke Sipirok bukan hanya untuk belanja, tapi tempat untuk bertemu kawan-kawannya. Apalagi sebelum Sipirok menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan, Hutapadang masuk dalam Kecamatan Sipirok. Sekarang kampung kakek telah bernama Desa Nanggarjati Hutapadang dan masuk ke dalam Kecamatan Arse. Tapi, kemana-mana kakek tetap menyebut dirinya berasal dari Sipirok. Ya, seperti kebanyakan orangtua yang tinggal di Kecamatan Arse.
“Kok Kakek tahu yang mau kita buat, dia yang nyuruh ya?”
Dapot yang mendapat pertanyaan itu begitu kami sampai di pancuran hanya cengengesan dan langsung jongkok menghadap air.
“Kalian bersekongkol ya?”
“Ngapai sekongkol. Biji aren tua memangnya untuk apalagi selain cincin?”
“Ya mana tahu aku...”
“Ya sudah, mandi. Habis itu kita salat berjamaah, makan, dan tidur he he he.”
“Cincinnya?”
“Kan besok, peralatannya pun belum ada. Habis itu, bikin cincin itu tak bisa sehari, tapi berhari-hari. Pokokya, liburanmu penuh cincinlah,” jawab Dapot sambil tertawa. Kali ini badannya sudah kuyup.
Sejujurnya saya penasaran, tapi sudahlah. Saya biarkan saja rasa itu. Terbukti saya juga tidak memimpikannya saat tidur malam. Pada pagi kalau tidak diingatkan Dapot, saya malah lupa.
Ya, kakek sudah ke Sipirok saat Dapot mengajak saya ke samping rumah sambil membawa kantung plastik kemarin dengan dua bilah pisau yang bagian ujungnya runcing dan beberapa potongan kaca serta kain. Kami duduk di bawah pohon cengkih. Di bawah pohon itu ada semacam balai-balai yang beralas tikar bambu. Biji aren telah dikeluarkan dari kantung plastik. Dapot memberikan satu pisau runcing itu kepada saya.
“Pakai ini untuk buat lubangnya,” katanya.