Ibu menunjukkan kepenasaran yang dalam. Ayah tidak ketinggalan, dia malah bolak-balik bertanya kejutannya seperti apa. Ria? Dia cuma cengegesan sambil berulang kali menyatakan ingin pulang kampung juga.
Ya sudah, setelah itu saya hanya menanti Bang Idris tiba.
Sambil menanti Bang Idris menjemput, saya habiskan waktu menikmati kampung. Saya menangkap ikan di kolam milik kakek yang berada di Hutatongah atau tepatnya di kawasan belakang kantor pos Hutapadang. Bersama Dapot, saya juga kembali menikmati mandi di irigasi tua. Tapi kami tidak ke ladang lagi, sepuluh cincin aren beraneka warna dan ukuran telah tersimpan rapi di dalam tas, jadi tidak ada alasan kami untuk lebih mendaki. Apalagi, kami mandi bukan pada hari Senin, penjaga ladang pasti berada di sana. Tidak enak, kata Dapot, dia cerewet.
“Jadi cincin itu untuk siapa saja? Untuk kawan-kawan kau juga?” tanya Dapot saat kami kembali dari irigasi.
“Gaklah! Untuk Ayah lima. Untuk Ibu tiga. Dan, untuk Ria dua,” jawab saya cepat.
“Ukurannya kira-kira pas enggak ya, Ri?”
“Pas!”
Ya, saya memang telah membayangkan jari-jari mereka semua. Saya yakin pas. Kalau pun kekecilan, saya kan bisa membenahinya. Cara membuat cincin dari biji aren telah saya hapal di luar kepala.
“Iya lah,” kata Dapot sambil nyengir.
Selang dua hari dari video call itu Bang Idris baru tiba. Pagi buta. Malamnya kami baru kembali ke Medan. Kakek menyiapkan sekarung beras, kacang tanah, dan gula aren sebagai oleh-oleh. Dia tampak sedih karena saya akan pulang, tapi kakek tetaplah kakek yang selalu tertawa hingga dia anggap saja semuanya lucu.
Ketika malam tiba, sehabis isya dan makan malam, Bang Idris mulai menyalakan mobil. Semua barang bawaan, tas yang berisikan cincin aren tetap saya pegang, telah masuk ke mobil.
“Jangan sampai ketinggalan, Ri” kata Dapot.
“Siap!”
Dan, mobil pun melaju perlahan meninggalkan rumah kakek. Saya melihat ke belakang, terlihat kakek tertawa. Dasar kakek, kata saya dalam hati.
“Kita lewat Lintas Timur saja ya, Ri, ganti suasana,” kata Bang Idris.