Cinderella Menyelamatkan Seorang Peri

Diba Tesi Zalziyati
Chapter #2

Namanya Cinderella

Tiga Bulan Sebelumnya

Unggas itu menyentak dengan garang. Dari kedua matanya laksana berpijar api, sadis. Kedua cakarnya mencengkeram tanah dengan kuat. Ia lalu terdiam. Hening. Mungkin sedang berpikir, inilah kesempatan terakhirku untuk lolos. Di belakangnya ada benteng setinggi sepuluh meter, sedangkan di depan ada seorang gadis dengan wajah penuh corengan lumpur sedang memasang kuda-kuda. Kedua kaki gadis itu memijak selebar bahu, lututnya setengah ditekuk. Mau apa lagi kalau tidak untuk menyembelihnya, menjadikannya santapan seperti nasib saudara-saudaranya yang lain.

Gadis itu bernama Cinderella, matanya yang bundar seperti bulan. Ia memandangi hewan berbulu yang tidak bisa terbang tinggi itu, kemudian menaruh kedua tangan yang berlumuran lumpur di kedua paha guna menguatkan kuda-kuda. Dengan lekat ia memandangi gerak ayam pejantan berwarna hitam-merah itu.

Ke kanan, pikir Cinderella sambil menggerakkan tangan kanannya perlahan dan menguatkan kuda-kuda.

Si pejantan mengepakkan sayap, ini ikhtiar terakhirnya. Ia melompat dan ….

Kena!

Cinderella menyambarnya dengan kedua tangan. Unggas malang itu menjerit lemas. Dia membiarkan tubuhnya dikepit keras oleh pergelangan lengan Cinderella yang kurus.

Wajah gadis itu datar, seakan urat-urat wajahnya putus. Tak ada senyum, tak ada teriakan riang karena telah memenangkan pertempuran, meski hanya melawan ayam yang tak berdaya. Tak ada apa pun. Ia berjalan melewati jejeran kandang-kandang ayam yang terbuat dari kayu di kiri dan kanannya, sama sekali tidak mengindahkan suara rentetan puluhan ayam yang berkokok. Jalannya kadang terseok karena botnya yang kebesaran terkadang tersangkut di lumpur. Ia menemukan sepatu bot itu di pekarangan belakang, sepertinya milik mantan tukang kebunnya dulu ketika ia masih kecil. Pekarangan itu penuh lumpur sekarang, dikarenakan hujan yang tiada henti akhir-akhir ini.

Langkahnya terhenti di depan pagar kayu yang sudah reot. Diraihnya tali tambang yang melilit pintu pagar, dan terdengar bunyi mendecit ketika pintu ditarik membuka. Engselnya yang satu sudah lepas, yang satu lagi tinggal menunggu takdirnya. Dengan perlahan Cinderella menutup kembali pagar itu sambil memegang erat kedua kaki ayam yang sudah menggantung lemas.

Dia mengganti alas kakinya dengan sandal jepit yang berbeda antara kanan dan kiri. Yang kanan berwarna putih dengan jepitan biru dan sebelah berwarna merah.

“Ah …” dan mengembuskan napas, lalu melanjutkan langkah melewati pekarangan berbatu, menuju kompor tungku. Di atasnya tampak panci besar berisi air yang sedang dijerang. Dia berjongkok sambil membawa golok besar di tangan kanan.

***

Kamarnya berada di atas dapur, cukup besar. Namun karena ada banyak barang yang tidak terpakai disimpan di sana, maka terasa sempit. Cinderella sudah membereskan ruangan itu sebulan yang lalu, tapi karena ibu tirinya menambahkan barang lagi malam sebelumnya, jadinya berantakan kembali. Beberapa kotak besar setinggi lutut Cinderella teronggok begitu saja di depan tangga, menghalangi jalan. Ia belum tahu apa isinya. Waktunya terlalu banyak dipakai untuk mengurusi puri dan isinya. Cinderella harus memiringkan tubuh agar bisa masuk di antara celah dan melewati bagian belakang sofa panjang berwarna merah yang sudah usang. Di belakang sofa itu terdapat sebuah kamar kecil, kamar mandi yang biasa digunakan Cinderella sehari-hari.

Selepas mandi dan salat Subuh, Cinderella bergegas menuju dapur, melewati berbagai rintangan yang harus dilalui. ia masih harus mempersiapkan menu lain, mencuci baju, membereskan puri juga memberikan makan binatang ternak. Dadanya berdebar kencang. Mungkinkah dia menyelesaikan semuanya pada waktunya? Ia terlambat bangun. Baru terbangun jam 03.40 pagi, tidak ada daging di lemari es. Untuk makan mereka semua mengandalkan Cinderella sepenuhnya, tanpa mau repot-repot menyediakan dana atau memikirkan dari mana Cinderella memperoleh semua makanan itu. Cinderella harus memutar otak memberi makan ayam-ayam, mengurus, mengambil telurnya, atau terkadang menjual beberapa ayam untuk menambah dana makan. Selain itu menanam sedikit sayuran, yang beberapa ia jual setiap pekannya.

Namun apa pun yang sudah dilakukan, semua itu tidak berarti bagi keluarganya. Cinderella keluar dari kamar, menuruni tangga, lalu membawa ember dan tongkat pel. Membersihkan puri yang luasnya saja mungkin mencapai lebih dari setengah hektar. Beberapa kali ia terdiam karena kelelahan, namun kemudian terus bergerak karena bila terus mengikuti rasa, maka apa yang dikerjakannya tak pernah selesai.

Suara langkahnya menimbulkan gaung yang lantang. Puri itu sekarang sepi, dahulu ada beberapa patung dan lukisan nenek moyang Cinderella di sana, namun satu per satu dijual oleh ibu tirinya demi melanjutkan gaya hidupnya yang mewah. Lalu melanjutkan mengepel lantai marmer, namun kemudian teringat sesuatu.

“Aduh!” keluhnya.

Tak lama ia berlari menaiki tangga yang berada di hadapannya sambil memegangi pinggiran tangga yang terbuat dari kayu jati terbaik di negerinya, berpelitur warna cokelat mengilap.

Setelah melewati lorong beralaskan karpet merah tebal yang sudah pudar warnanya, sampailah ia di pintu pertama lorong itu. Itu sebuah kamar dengan dua daun pintu yang lebar terbuat dari kayu jati kokoh berwarna cokelat. Cinderella terdiam sejenak sambil menarik dan mengembuskan napas. Tangannya terkepal mendekati pintu. Pelan sekali ia mengetuk.

“Ma ….”

Tidak terdengar suara apa pun dari dalam. Cinderella mendaratkan lagi tinjunya ke kayu yang keras itu, kali ini tenaganya ditambahkan.

Lihat selengkapnya