Bening meletakkan tas dan sepatunya di sembarang tempat. Lantas menghempaskan tubuh tinggi langsingnya di tepi ranjang. Jemari lentiknya mengurut kening, pening. Mata itu terpejam sesaat. Saat membuka mata, dia tertegun menatap kotak berukuran sedang di atas meja. Keningnya berkerut, tapi sesaat kemudian tersenyum semringah.
Kotak berwarna hitam berpita merah muda dengan cepat dibongkar. Mata Bening terbelalak.
"Ow, so beautifull!" Tangannya meraba kain sutra hitam dengan payet bunga mawar. Dia juga mengeluarkan sepatu hitam pekat berhak runcing dengan bagian jari yang terbuka.
Bening menoleh ketika ponselnya berdering. Nada spesial membuat gadis itu tertawa senang.
"Sayang? Sudah dilihat?" tanya suara lelaki di seberang sana. Bening menggangguk cepat, padahal dia tidak akan melihatnya.
"Makasih, Sayang. Aku suka!" ucap Bening antusias.
"Syukurlah! Aku jemput dua jam lagi, ya?"
"Kita mau ke mana?"
"Nggak kemana-mana, sih. Aku cuma mau lihat kamu aja."
Bening membenamkan wajah bersemunya di bantal. Degup jantungnya seolah berpacu dengan denting detik yang terasa melambat.
"Pokoknya dua jam lagi, oke?"
"Ehm, aku belum mandi, lho."
"Nggak apa-apa. Nungguin bidadari mandi nggak bosen, kok!"
Bening terkekeh.
"Sudah, ya, see you."
"Tapi aku masih kangen."
"Jangan kangen. Kangen itu sakit. Kamu nggak boleh sakit. Cukup aku saja!"
"Hehe. Sudah jadi Dilan, ya, sekarang?"
"Kok Dilan? Tetap Kevin, dong!"
"Hehe, iya deh."
Mereka saling diam untuk beberapa saat. Hingga ....
"Jangan diem aja! Nanti aku ketahuan."
"Ketahuan apa?"
"Ketahuan kalau detak jantungku bunyinya nama kamu."
Kali ini Bening menjerit. Tentu saja setelah menjauhkan ponselnya dari pipi. Gadis itu meredam jeritannya di balik bantal.
"Sayang? Kamu di mana?" Suara di ponsel menyadarkan Bening yang sibuk berbunga-bunga.
"Eh, iya. Di sini."
"Oh. Oke, see you, ya?"
Dengan berat hati Bening memutus sambungan telepon. Gadis itu tersenyum dengan memeluk bantal dan mata yang fokus menatap ponsel. Ada fotonya bersama Kevin sebagai wallpaper.