Semula Sindi Erela mengira tak akan merasa kehilangan kasih sayang keluarga selepas kepergian sang ayah lantaran ia masih memiliki ibu dan saudara perempuan tiri yang menyayanginya. Namun, semua hanya kesalahpahaman Sindi atau mungkin semuanya sudah terencana sejak awal. Kasih sayang, kepedulian dan kebaikan yang mereka berikan selama ini tak lebih dari sebuah kepura-puraan. Sandiwara yang dibuat khusus untuk menarik simpati dan kepercayaan Sindi yang awalnya menolak kehadiran anggota keluarga baru dalam hidupnya.
Nasi sudah menjadi bubur. Kehidupan Sindi telah berubah 180 derajat. Wujud nyata dari kepura-puraan yang ditampakkan ibu dan saudara tirinya itu kini terlihat jelas di mata Sindi. Mereka jahat, penuh kebencian dan selalu memperlakukan Sindi dengan buruk. Hingga pada akhirnya, anggapan Sindi mengenai keluarga tiri tidak berubah. Mereka sama seperti ibu dan saudara tiri yang dikisahkan dalam dongeng Cinderella. Ya, Sindi merasa kehidupannya sekarang tak jauh berbeda dengan Cinderella. Kehilangan keluarga yang menyayanginya dengan tulus dan justru berakhir hidup bersama keluarga yang menaruh kebencian terhadapnya.
Meskipun begitu, Sindi bukanlah Cinderella dan nasib mereka juga berbeda. Sindi tak akan membiarkan penyiksaan berlaku atas dirinya, apalagi mengikuti perintah semena-mena yang dibuat ibu dan saudara tirinya atas hidupnya. Tak peduli sekeras apapun kehidupan yang ia jalani sekarang, asalkan itu semua atas keputusannya sendiri.
TOK! TOK! TOK!
“Sindi! Buka pintunya!”
TOK! TOK! TOK!
“Sindi! Aku tahu kamu ada di dalam. Cepat buka pintunya!"
CEKLEK!
Sindi membuka pintu dengan memakai jubah handuk. Baru langkah pertama, ia bergeming tepat di depan pintu kamar mandi. Sedikit terkejut dengan ketukan keras pada pintu dan suara teriakan yang berasal dari luar kamarnya. Sindi memperbaiki pendengarannya, mencoba menangkap suara siapa yang berteriak memanggil namanya dengan nada penuh amarah. Maklum saja, ibu dan saudara perempuan tirinya memiliki suara setipe, sama-sama cempreng dan sumbang dan sama-sama suka buat keributan di pagi hari.
Suara itu milik Mutiara Kasih, saudara perempuan tirinya yang akrab disapa Kasih. Mengetahui hal tersebut, Sindi hanya mengibaskan tangan tak mau peduli dan berjalan meraih seragam putih abu-abunya yang tergeletak rapi di atas tempat tidur untuk dipakai segera. Ia tak peduli berapa lama durasi yang akan dihabiskan Kasih berteriak membuat keributan di luar sana. Sindi juga tak mau ambil pusing jika saja pintu kamarnya akan rusak karena ketukan keras yang dibuat oleh Kasih.
“Sindi! Cepat buka pintunya! Jangan buat aku semakin marah atau kamu akan rasakan akibatnya!” Kali ini Kasih sudah mengeluarkan kata-kata ancaman. Namun, bukan Sindi namanya jika ia akan goyah dengan sebuah ancaman. Sindi malah fokus mengikat rambutnya dengan model kuncir kuda favoritnya.
“Ta-da. Selesai,” ucap Sindi menatap pantulan wajah pada cermin yang sedang tersenyum lebar.
Hening. Suasana tiba-tiba menjadi tenang. Tak ada lagi suara ketukan pintu yang membahana. Tak ada pula suara Kasih yang memekakkan telinga.
Sindi menaikkan bahu. “Mungkin ia lelah.” Lantas Sindi bergegas merapikan meja belajar yang masih berantakan usai mengerjakan tugas sekolah semalam sekaligus mengemas buku-buku pelajaran hari ini ke dalam ransel ungunya.