Cinderella's Stepsister

Noviyanti
Chapter #2

Seperti Orang yang Berbeda

Hari ini adalah senin. Suasana SMA Neosantara tampak begitu lengang. Seperti biasanya, tak ada kelas yang mendapatkan jadwal pelajaran olahraga. Begitu upacara pengibaran bendera usai, seluruh siswa harus berada di kelas masing-masing untuk memulai pelajaran. Para siswa tidak diperbolehkan keluar masuk kelas dalam kondisi atau situasi apapun, kecuali mendapat persetujuan guru yang mengajar saat itu.

SMA Neosantara memang seketat itu. Selain dikenal dengan peraturan yang ketat, SMA Neosantara dijuluki sebagai sekolah calon para penerus kerajaan bisnis. Julukan tersebut disemakkan orang-orang, lantaran sekolah menengah berlabel swasta itu sebagian besar dihuni oleh anak para pemilik kerajaan bisnis sukses, terkenal dan pastinya kaya raya. Sindi dan Kasih termasuk dua diantaranya.

Keunikan dari SMA Neosantara adalah para siswanya diwajibkan menyelesaikan seluruh biaya sekolah sebelum resmi menyandang status siswa baru. Jadi, mereka tak perlu lagi membayar uang semester atau biaya lainnya hingga lulus sekolah nanti. Mungkin hal itu tidak berpengaruh bagi siswanya yang terbilang berasal dari keluarga bergelimangan harta. Akan tetapi, Sindi pribadi merasa bersyukur atas adanya kewajiban itu, mengingat kondisi keuangan keluarganya tak sama lagi.

Apa jadinya jika Sindi harus membayar biaya sekolah yang tak sedikit saat bisnis keluarganya mengalami kebangkrutan tepat setelah sang ayah meninggal? Sindi mungkin akan berhutang ke pihak sekolah atau kemungkinan yang terburuknya, ia bisa saja putus sekolah. Untuk sesuatu buruk yang tidak jadi menimpanya, Sindi merasa harus berterima kasih karena ia tetap bisa mengikuti pelajaran hari ini dan seterusnya.

KRING!

Tanpa terasa bel istirahat berbunyi. Wajah kusut dan kelelahan para remaja berseragam putih abu-abu itu tampak sumringah. Mereka menjadi bersemangat mendengarkan kalimat-kalimat yang dilontarkan sang guru sebelum mengakhiri kelas. Padahal sebelumnya, mereka seperti baterai yang soak karena kehabisan energi. Dirapikannya alat tulis menulis yang ada di meja, lalu dimasukkan ke dalam tas. Selepas guru, para siswa ikut berhamburan keluar kelas bah kawanan itik yang keluar dari kandang.

Tujuan utama mereka, tak lain dan tak bukan adalah kantin. Para siswa, khususnya siswa kelas 1 dan 2 menuju kantin yang letaknya di sudut kanan sekolah. Sedangkan kantin di sudut kiri sekolah diperuntukkan bagi siswa kelas 3. Hal ini untuk memudahkan para siswa dari tiap tingkatan kelas agar tak perlu jauh-jauh lagi menyeberangi sisi sekolah lainnya dan berimbas pada kurangnya waktu istirahat mereka.

Sindi berjalan sendiri di koridor sekolah disaat teman-temannya yang lain ada yang bergandengan tangan berdua atau bahkan bergerombolan 3 sampai 5 orang. Iya, Sindi sendirian. Meskipun begitu, ia tidak merasa risih akan kesendiriannya. Sindi terlihat baik-baik saja dan penuh percaya diri melangkah memasuki kantin di sudut kanan sekolah.

“Oh... Ada yang masih berani menampakkan batang hidung rupanya,” ucap seseorang dengan suara nyaring begitu melihat Sindi berjalan menuju bangku kosong dengan semangkuk mie bakso dan segelas es teh di atas nampan.

Sindi tak menghiraukan, meski yang berbicara adalah Elisa —gadis yang merasa dirinya paling berkuasa di sekolah. Maklum saja, ia adalah anak pemilik sekolah sekaligus anak dari orang yang sangat berpengaruh di dunia bisnis. Bisa dibilang ayahnya paling ditakuti dan disegani di antara para pebisnis. Elisa pun mengikuti jejak sang ayah dengan menjadi siswa yang ditakuti para siswa Neosantara. Mereka tak ada yang berani mencari masalah dengan Elisa. Efeknya akan menjalar kemana-mana, termasuk ke orang tua mereka.

Tapi, tidak untuk Sindi. Sindi dengan beraninya duduk di samping Elisa —kebetulan kursi itu satu-satunya kursi yang kosong— setelah menghiraukan ucapan perempuan itu. Beberapa pasang mata silih berganti menatap Sindi dan Elisa. Mereka tak berani berkomentar, meski hanya sekedar berbisik. Sedangkan Elisa bergeming di tempatnya, menatap Sindi dengan tatapan tak percaya.

“Belum pernah lihat orang lagi makan?” kata Sindi mengangkat wajah dan menyeruput mie yang menggantung pada mulutnya. Elisa tercengang mendengar perkataan Sindi. Mulutnya ternganga, namun ia segera sadar untuk mengatupkan mulutnya.

“Siapa yang suruh kamu duduk di sini?” Sindi tak menjawab. Ia membuang muka dan kembali fokus menyantap mie baksonya.

Elisa mulai gerah. Berurusan dengan Sindi akhir-akhir ini membuat dirinya selalu dilanda hawa panas. Sindi yang ia kenal dulu sangat berbeda dengan Sindi yang sekarang. Cuek, angkuh, dan menyebalkan. Elisa terkadang berpikir ada sosok tak kasat mata yang mendiami tubuh teman sekelasnya itu hingga menjadi seperti sekarang.

“Bangun! Ini bukan tempatmu. Kamu tidak pantas duduk di sini.” Elisa menarik paksa tangan Sindi agar berdiri meninggalkan tempatnya hingga menyebabkan kuah bakso di mangkuk tumpah.

“El—”

Lihat selengkapnya