Surabaya. 17 September 2015
Apa kabar, Pa? Papa pasti baik-baik aja kan di sana? Gak kerasa udah dua tahun sejak hari itu, sejak terakhir kali aku melihat senyum papa untuk yang terakhir kalinya. Velinda kangen papa, kangen keluarga kita yang dulu. Kenapa justru di hari Velinda lahir ke dunia adalah hari di mana papa balik ke surga?
Velinda menutup buku harian yang ada digenggamannya. Tangannya gemetaran. Tetes demi tetes air mata mulai membasahi pelipisnya. Ia menggenggam buku itu erat di pelukannya.
“Tunggu, Pa... Mungkin satu minggu lagi. Velinda.. baru bisa ke sana? Gapapa kan, Pa?” ujarnya meletakan lembaran buku bercover pink, tangannya bergerak menuju kotak hitam kecil berisikan kalung berinisial namanya.
Velinda membuka kotak itu perlahan, ia lantas mengangkat kalung berwarna emas di atas pandangan matanya. Kilau keemasannya terpancar saat kalung itu terkena pantulan cahaya lampu— persis seperti waktu pertama kali ia melihatnya. Kalung itu diberikan oleh ayahnya saat ia berulang tahun tiga tahun lalu.
Hari ini merupakan hari ulang tahun gadis itu, Namun, ia sama sekali tidak tertarik untuk merayakannya. Baginya kejadian dua tahun silam merupakan hadiah yang paling membekas di dalam hidupnya. Velinda bahkan belum membalas deretan pesan selamat ulangtahun yang datang ke ponselnya
Pintu kamar gadis itu terbuka. Diiringi dengan kehadiran kakak laki-laki dan ibunya membawa kue ulang tahun. Raut wajah kedua orang itu berubah menjadi sendu ketika melihat gadis itu mengusap air matanya. "Ulang tahun kok malah nangis?" ujar ibunya meletakkan kue di atas meja sembari mendekap erat tubuh Velinda.
"Gapapa kok, Ma..." Senyum mulai tersungging di bibirnya.
"Nah gitu dong senyum... Udah jelek jadi tambah jelek ntar," ejek Arvin mengacak rambut gadis itu.
"Heh, Enak aja! Itu mah kakak!" serunya tidak mau kalah.
"Bercanda gitu aja baper. Nih, buat kamu," tutur Arvin menyerahkan bingkisan cokelat pada Velinda.
"Wah.. Tumben banget kak? Ini aku gak salah liat kan?” Velinda mengusap kedua matanya—tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Gak mau kadonya? Yaudah kalau gitu biar aku ambil lagi,' goda Arvin menarik kembali bingkisan di tangan Velinda.
"Yee! Siapa juga yang bilang gak mau!" balas Velinda ngegas.
***
Wajah Arvin berubah menjadi pilu ketika mendapati sosok adik perempuannya menangis di hari ulang tahunnya. Laki-laki itu mengepalkan tangannya. Ia sudah bertekat untuk menyelediki tentang kematian ayahnya. Ia yakin bahwa ada kejanggalan di dalamnya.
Setelah berhasil memberikan bingkasan kado dari uang tabungan hasil kerja sambilannya, laki-laki itu kembali ke kamarnya. Ia menyenderkan pundaknya disamping tempat tidurnya. Arvin memandangi ruang kamar itu dengan padangan kosong, nuansa abu-abu yang menjadi warna favoritnya terpampang di setiap sudut ruangan, pandangannya terarah pada bingkai foto keluarga yang terpajang di atas meja kecilnya. Terlihat pancaran rona kebahagiaan diantara keempat insan yang sedang tertawa lepas dan momen itu diabadikan dalam foto ukuran 30x20. Berbagai macam perasaan berkecamuk di dalm hatinya, sedih-marah-kecewa, perasaan yang telah ia kubur semenjak lima tahun itu seperti mengetuk pintu hatinya kembali. Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Suatu saat aku pasti akan tahu mengapa.
***
"Maukah kau menikah denganku, Putri?" ujar pria yang mengenakan setelan jas hitam keemasan sambil menunduk lalu memasangkan cincin ke jari manis perempuan yang berada di depannya.
"Tentu saja, Pangeran," balas gadis berwajah elok dengan rambut emasnya yang menjuntai ke belakang, menunduk ke arah pangeran sembari menyunggingkan senyum manisnya.
Keduanya bertatapan, mata mereka saling berpandangan hingga kedua bibir mereka saling bersentuhan. Kerajaan itu terselamatkan dari ancaman nenek sihir paling kejam sedunia. Lalu, mereka hidup bahagia selamanya.
Velinda memutar bola matanya, “Di dunia ini mana ada... hal semacam itu? Meskipun hidup di dunia novel sekalipun.. pasti bukan aku.. tokoh utamanya..” ujarnya dalam hati.
Gadis itu melirik cermin yang terletak di sebelah televisi. Bayangan pantulan wajahnya terlihat jelas, bibirnya pucat, kantung matanya hitam seperti tidak tidur dua hari. Penampilan itu sangat berbanding kontras dengan puteri yang ada di negeri dongeng.