Axel beranjak dari tempat tidurnya. Laki-laki itu mencoba berdiri menggunakan kedua kakinya. Kaki kanannya masih terasa nyeri saat digerakan dengan cepat. Namun, rasa nyerinya sudah berkurang jauh jika dibanding saat pertama kali ia mencoba menggerakan kaki kanannya.
Laki-laki itu berusaha untuk melangkahkan kaki kanannya, dengan perlahan ia berhasil mencapai ujung kamarnya. Ia membuka jendela kaca yang membatasi kamarnya dengan balkon rumahnya.
Tiupan angin kembali menyapa wajahnya, sudah lama sekali ia mengurung diri di dalam kamar sehingga laki-laki itu lupa rasanya berlari melawan angin. Jangankan berlari, berjalan saja rasanya sakit tidak karuan.
Berbagai jenis tanaman tertata rapi di dalam taman seluas lapangan basket itu, terutama bunga tabebuya—bunga di Indonesia yang dikabarkan mirip bunga sakura. Ibunya sangat menyukai bunga jenis itu, katanya itu mengingatkanya pada masa-masa dirinya berkuliah di Tokyo. Di ujung taman terdapat kolam iklan yang berhiaskan batu-batu antik dan air terjun kecil yang tidak pernah berhenti mengalirkan air.
“Belum banyak yang berubah ya... Padahal sudah enam bulan sejak aku mengurung diri di kamar,” gumamnya memandangi keindahan kebun itu dari atas.
”Den.. Asel!” ucap Pak Margono melihat laki-laki berambut cokelat itu menampakan batang hidungnya.
Axel tersenyum tipis. Bapak Margono rupanya masih tidak dapat melafalkan namanya dengan baik. “Bukan Asel pak tapi Axel, Pak,” jawabnya dengan suara ngebassnya.
”Saya sudah gak liat den Asel kayanya udah hampir satu tahun... Den Asel kenapa? Sakit?” tanya Pak Margono—tukang kebun yang sudah mengabdi selama puluhan tahun dirumahnya— dengan polosnya.
”Iya pak... haha tapi sekarang udah baikan kok pak,” sahut Axel dari balkon atas.
”Saya kangen sama den Asel, kalau sudah sembuh den jangan di kamar terus dong. Kangen den Asel main sama pocky... juga. Ya, kan pocky?” tutur pria berkumis itu kepada anjing doberman hitam yang berada di sampingnya.
Seakan mengerti dengan apa yang diucapkan Pak Margono, anjing hitam itu menggonggong. ”Guk..guk!”
Anjing doberman itu lantas berdiri, memberikan tangannya kepada Pak Margono.
“Wah sekarang pocky jadi lebih akrab yang sama bapak dari pada sama saya?”
“Selama den di kamar, saya yang ngajak jalan pocky... Kalau bukan saya siapa lagi den masa Bik Inah?” ucap Pak Margono yang diiringin dengan tawa kecil.
”Tumben tamannya gak banyak berubah, Pak? Pasti mama belum minta nanem tanaman aneh-aneh lagi.”
”Iya, belakangan ini nyonya sibuk mikirin cara buat ngebujuk den Axel supaya keluar dari kamarnya..” jawab pria itu dengan raut wajah sedih.
Hati Axel teriris mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan oleh pria paruh baya itu. Apakah selama ini ia terlalu egois memikirkan perasaannya sendiri? Sehingga mengabaikan perasaan orang disekitarnya.
Laki-laki itu lantas melambaikan kedua tangannya ke arah Pak Margono membiarkan pria itu melanjutkan pekerjaannya lalu menutup jendela kaca yang memisahkan kamarnya dengan balkon atas.
Axel menyandarkan punggungnya yang jangkung di tepi ranjang. Pandangannya teralih pada figura-figura kecil yang tersusun rapi di seberang.