Gadis itu menghembuskan napasnya perlahan. Sekarang ia sedang berada di ujung lapangan bersama teman-temannya. Sementara anak-anak yang lain sibuk bermain bola entah bola basket, voli atau sepak bola. Semuanya terlihat sedang berada di dunianya sendiri.
”Ehh... Kayanya aku tau kenapa dia pindah ke IPS!” ujar Pamela memulai pembicaraan.
”Hah? Dia siapa Axel?” tanya Rosalie penasaran.
”Iya siapa lagi please deh.”
Nayla mengernyit. ”Kok kamu baru ngasih tau kita sekarang sih?”
”Ya karena aku juga baru tau kemarin. Info dari kelas sebelah. Mamanya dateng pas dia pindah kelas pokoknya kaya mohon-mohon ke wali kelasnya gitu.”
”Terus...terus??”
”Aku cuma tahu segitu aja sih... Kayanya sih dia sendiri yang minta pindah.”
”Cowok itu bener-bener aneh. Vel, kamu ga keganggu kan sama tingkah anehnya?” tanya Nayla.
Velinda menggelengkan kepalanya pelan. “Gak kok, emang sih dia rada aneh...kemarin...” Kata-kata yang ingin dilontarkan gadis itu seperti tercekat di tenggorokannya. Velinda agak ragu untuk menceritakan kejadian kemarin kepada teman-temannya. Ia memutuskan untuk menutup mulutnya kembali.
”Kemarin kenapa?”
”Kemarin aku kaget aja kenapa aku harus duduk di sebelah dia. Tapi... emang dia gak ngomong satu patah kata pun,” ungkap Velinda berusaha menutupi kejadian kemarin.
”Cih! Aku rasa dia itu emang cacat atau punya gangguan jiwa,” ujar Pamela mengambil kesimpulan.
”Yah.. sayang banget, padahal ganteng. Kabarnya dia juga punya adek cantik banget di kelas sepuluh, kayanya cakep itu memang nurun dari gen deh,” imbuh Nayla menopangkan tangan kirinya di bawah dagu lancipnya.
”Kalian kan belum liat langsung keanehannya. Jangan mikir aneh-aneh dulu deh,” ujar Rosalie menatap ke arah laki-laki itu dari kejauhan.
”Liat aja dia main basket aja menyendiri gitu, mana masih pake celana panjang, bener-bener kaya orang aneh.”
Memang benar laki-laki itu sedang mengiring bola basket di ujung lapangan sendirian. Sepertinya tidak ada seorangpun yang pernah diajaknya berbicara dari awal ia menginjakkan kaki di sekolah ini kecuali Velinda.
***
Suara bel penanda pulang sekolah telah berbunyi. Banyak siswa yang langsung menghamburkan diri dari ruang kelasnya. Sayangnya, hari ini hujan menguyur dengan begitu derasnya. Velinda kembali mengutuki diri sendiri karena lupa membawa payung. Hari ini, Arvin tidak datang menjemputnya karena kebetulan ada kelas di kampusnya.
”Vel!” teriak Axel dari belakang.
Velinda menoleh, gadis itu melihat Axel sedang melambaikan tangan kearahnya. Ia lalu menunjuk dirinya, memasang wajah bingung, ia hanya ingin memastikan yang dipanggil laki-laki itu adalah dirinya.
Axel mengangguk, mengisyaratkan bahwa memang dialah orang yang dicari.
”Ya... kenapa?” tanya Velinda bingung.
Laki-laki itu buru-buru merogoh ransel hitamnya, berusaha ngambil sesuatu lalu menyodorkan kepada gadis itu.
”Ini apa?” tanya gadis itu dengan raut wajah penuh tanya.
”Album..”
”Kok tiba-tiba kamu ngasih album?” tanya gadis itu dengan ekspresi keheranan.
“Ya karena orang yang mau dikasih udah punya,” balasnya singkat.
Gadis itu semakin bingung, pertama, kenapa laki-laki itu tiba-tiba memberikan album. Kedua, bagaimana cara laki-laki itu tahu bahwa ia menyukai Cloudy.
“Ambil aja. Anggep aja aku bales budi soal kemarin. Aku udah banyak ngerepotin,” Axel kembali menyodorkan album itu lebih dekat ke arah gadis itu.
Dengan hati-hati, Velinda mengambil album itu. “Makasih loh, harusnya kamu gak perlu ngerasa utang budi kemarin aku kebetulan liat aja kok.”