Hachi! Axel menyeka ingusnya untuk kesekian kalinya. Sudah sepuluh kali lebih, laki-laki itu bersin tanpa terkendali. Ia merapatkan hoodie hitam yang dikenakannya. Menggosokan kedua tangannya berulang-ulang. Baginya suhu ruangan kelas hari ini setara dengan suhu di kutub utara.
Gadis itu melihat Axel dengan pandangan menyidik. Laki-laki di depannya itu nampak sedang tidak baik-baik saja. Tubuh yang menggigil kedinginan, terdapat bekas luka di ujung bibir kanannya. Ia nampak seperti orang yang kemarin habis pergi tawuran lalu berakhir babak belur.
Velinda mengambil sekotak tisu dari dalam tasnya, lalu menyodorkannya kepada laki-laki itu.
”Kamu gapapa?” tanya gadis itu saat melihat luka di samping bibirnya dengan lebih dekat.
”Gapapa kok...cuma keujanan dikit.”
“Maksudku bibirmu itu beneran gapapa?” tanya Velinda untuk kedua kalinya. Gadis itu melihat darah segar kembali mengucur dari ujung bibir Axel.
”Ohh kemarin aku ga sengaja jatuh... kepleset,” jawab laki-laki itu mengambil dua lembar tisu dari tangan Velinda.
Axel kembali melakukan aksi untuk menyeka ingusnya. Sepertinya ia terkena flu berat.
“...Itu di bibirmu ada darah,” ujar Velinda memberitahukan ada tetesan darah yang mengalir dari bibir laki-laki itu.
Axel terlihat kebingungan.
Gadis itu akhirnya berinisiatif untuk mengambil tisu dari genggamannya dan mengusap darah yang mengucur dari bibir laki-laki itu.
”...Gak perih kan?” ucap gadis itu sangsi.
Axel menatap gadis di hadapannya itu lamat-lamat.
”Enggak.. makasih ya,” jawabnya salah tingkah.
Sumpah, ini sih terlalu deket!
Sepertinya selain adiknya, tidak ada pernah ada orang seorang yang pernah menyeka wajahnya seperti itu.
Jantung Axel serasa meronta dari tempatnya.
”Oh ya! Payungmu, bentar tunggu,” ucap gadis itu seraya mengambil sebuah payung hitam kecil yang terletak di kantong sebelah kanan tasnya.
”Nih!” Kali ini ia mengulurkan payung hitam itu dengan sebuah notes kecil dan satu bungkus minuman favorit gadis itu, apa lagi kalau bukan susu pisang.
Axel menerima barang itu sambil mengembangkan senyumnya. Sepertinya Velinda baru pertama kali melihat laki-laki itu tersenyum.
Senyumnya manis juga ya?
”Coba kamu lebih sering senyum, kamu jauh lebih cocok kalo senyum beneran.”
Waktu berjalan dengan sangat lambat. Jarum jam seperti tidak berpindah dari tempatnya. Pelajaran hari ini memang sangat membosankan, bagaimana bisa pelajaran matematika, ekonomi, sosiologi dan geografi dijadikan satu hari penuh. Benar-benar sebuah penyiksaan bagi anak IPS.
Bel itu akhirnya berbunyi, menandakan pelajaran ketiga telah berakhir. Suasana kelas mulai gaduh, masing-masing anak sibuk mengobrol dengan teman sebangkunya. Mereka nampak kelelahan, apa lagi setelah mendengarkan ceramah selama satu jam penuh mengenai geografi.
Tidak sampai lima menit, langkah Pak Bambang telah terdengar dari koridor pintu kelas, membuat seisi kelas terpaksa kembali ke tempat duduknya.
Angin sepoi-sepoi yang berhembus dari pendingin ruangan membuat hampir seluruh anak mengantuk. Ditambah dengan suara Pak Bambang yang tidak jelas, benar-benar seperti orang yang lagi mendongeng di siang bolong.
Velinda berusaha menahan kantuknya dengan cara melihat-lihat sekeliling, selain jenius gadis ini juga suka mengamati perilaku orang lain. Di ujung sebelah kanan, terdapat gerombolan Daffa yang sedang main hape di bawah mejanya sambil senyum senyum tidak jelas. Sudah bisa ditebaklah segerombolan cowok itu lagi nonton apa.
Di sebelahnya terdapat Fiona dan teman-temannya yang sedang makan berjamaah. Mejanya sudah seperti orang yang lagi piknik di lapangan. Lalu, Brian yang sedang tertidur di bantal kesayangannya dengan mulut menganga.
Astaga! Jorok banget kalau kemasukan lalat aku bakal ketawa paling kenceng.
Sepertinya hanya Roy seorang yang mendengarkan bapak itu dengan serius tanpa adanya gangguan. Laki-laki itu sesekali membetulkan kacamatanya lalu termangut-mangut kecil.
Aku bener-bener gak yakin Roy nyimak. Mana ada sih penjelasan yang bisa didenger dari suara Pak Bambang?