Cindervelin

Evelyn
Chapter #14

#13 Memories

Setelah berhenti selama beberapa detik, Arvin kembali melangkahkan kedua kakinya menuju ke gerbang sekolah dan menyeret Velinda yang wajahnya masih dipenuhi tanda tanya.

“Emangnya ada kejadian apa sih antara kakak sama dia?” protes gadis itu meminta penjelasan.

“Pokoknya jangan deket-deket dia. Gue gak suka, Vel.”

”Pantes lo jomblo kak,” ujar Velinda mencibir.

Alis Arvin terangkat sebelah. “Hah apa hubungannya?”

“Soalnya lo terlalu posesif kak. Ntar cewek takut pada kabur semua.”

”Haish! Bodo amat pokoknya jangan deket-deket sama dia aja.” Arvin tidak tahu mengapa tetapi yang jelas ia memiliki firasat yang tidak baik tentang laki-laki itu dan biasanya instingnya selalu benar.

Velinda terlihat kebingungan, ia sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi sebenarnya dengan kedua orang itu.

Arvin biasanya tidak akan bersikap begitu kalau tidak ada sesuatu yang ia ketahui. Tapi... apa? Apa karena Axel terlihat dekat dengan gebetannya itu?

”Vel! Gimana rapat kemarin?” tanya Nayla antusias, membuyar lamunan Velinda tentang kejadian kemarin.

”Baik-baik aja kok. Gue kemarin ketemu sama Sherrina. Emang bener-bener cakep banget aslinya. Cuman sayang... Dia gak punya radar buat ngerasain keadaan bahaya, anaknya polos banget.”

”Hmm... Lo kok bisa ngomong gitu?”

”Lo tau kan? Berita tentang senior Aldo yang mesum itu? Ternyata dia yang jadi koordinator acara dong.”

”HAH? ALDO FERNANDO ITU?” ujar Nayla meremas ponsel yang sedang berada digenggamannya.

Velinda mengangguk mantap. “Iya yang kacamataan itu. Kalau dilihat dari deket, makin serem! Dan kayanya dia ngincar Sherrina dong.”

”Lo harus... jagain dia atau gak lo kasih tau Axel aja. Cowok itu gak waras,Vel! Kabarnya dia bener-bener gak takut sama apapun dan bakal ngelakuin semua rencananya apapun konsekuensinya.”

Kaki Nayla melemas, jantungnya berdebar kencang. Jangan sampai kejadian itu terulang lagi... Setidaknya jangan pada Sherrina.

***

Axel menopangkan dagunya. Ia baru pertama kali, memutuskan untuk pergi ke taman bermain. Seumur hidupnya ia sama sekali belum pernah masuk ke dalam ya. Saat ini Axel sedang menunggu bus datang. Tidak sepertinya gadis disebelahnya yang nampak antusias, laki-laki itu termenung di tengah keramaian. Maksud Velinda kemarin itu ternyata pergi ke taman bermain? Dan kenapa dengan begonya gue nyetujuin aja sih! Ah kacau!

Gadis itu menepuk pundak Axel, “Bisnya habis gini dateng. Siap-siap ya!” Yang dimaksud Velinda adalah siap berdesak-desakan bagai ikan pindang.

Akhirnya Velinda memutuskan untuk menemani Axel ke taman bermain. Menurutnya, dengan pergi ke sana cukup dapat membuatnya melupakan masalahnya sejenak. Ia cukup kaget mengetahui laki-laki itu sama sekali tidak pernah pergi ke tempat seperti itu.

“Vel...” ucap laki-laki itu pelan, memberikan tanda pada Velinda untuk bertukar posisi dengannya. Axel melihat di depan matanya, bahwa ada seorang laki-laki yang sedang memperhatikan bagian belakang seragam Velinda.

Gadis itu pun mengangguk dan segera masuk kedalam sisi kanan bus. Jarak mereka saat kini sangat dekat, wangi parfum lavender yang dipakai Velinda tercium dengan sangat jelas oleh laki-laki itu.

Axel melepaskan jaketnya dan mengenakan jaket itu untuk menutupi bagian belakang gadis itu. Velinda menoleh ke arah laki-laki itu meminta jawaban atas perlakuannya itu.

”Buat menghindari mata jelalatan,” bisik Axel pelan.

Ternyata naik kendaraan umum lebih buruk dari yang ia bayangkan. Jujur saja, Axel sama sekali tidak pernah membayangkan dirinya akan berdesak-desakkan dengan orang yang tidak dikenal. Dan jarak merekapun sangat berimpitan. Ditambah lagi, banyak orang tidak dikenal yang dapat berniat jahat padamu kapan saja. Benar-benar sangat tidak nyaman. Namun, entah bersama gadis itu rasanya semua rasa kesal ini jadi hilang begitu saja apalagi saat melihat gadis itu tersenyum.

”Ayo masuk! Lo pasti gak akan nyesel!” ujar gadis itu menggandeng tangan Axel menuju loket masuk.

Axel mengeluarkan beberapa lembar uangnya dari dompet. “Buat hari ini biar gue yang traktir aja,” ucapnya memberikan lembaran uang itu pada petugas loket.

Mata Axel berkilat, menunjukkan betapa kagumnya laki-laki itu pada megahnya taman bermain itu. Ia belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di tempat seperti ini.

Kini mereka sedang berada di dalam ruangan tertutup yang cukup luas, berisikan wahana-wahana yang siap untuk ditumpangi kapanpun.

Bulu kuduk Axel berdiri seketika, ketika melihat curamnya jalur mini roller coaster di depan matanya. Teriakan dari para pengunjung yang duduk di dalam kereta membuat nyalinya semakin menciut.

Axel menelan ludahnya. ”Kita naik ini??” tanyanya ragu.

Gadis itu mengangguk. “Kenapa... jangan bilang lo takut?”

“Enggak! Lo yakin ini aman kan?” elak Axel, ekspresi wajahnya menunjukkan yang sebaliknya.

”Aman! Tapi kalau lo takut lo tunggu dulu aja di sini. Nanti kita ketemu di sini pas gue turun.”

Lihat selengkapnya