Velinda menggosok matanya perlahan. Sudah tak terhitung berapa banyak hari ini gadis itu menguap. Lelah, itulah satu kata yang menggambarkan hari ini. Mulai dari kemarin malam, ia dan seluruh panitia lain harus berjaga untuk memastikan semua berjalan dengan lancar. Hingga kini jam tiga subuh, ia sudah harus tiba di lokasi untuk mengawasi pemasangan backdrop panggung.
Gadis itu menghela napasnya berat, menengadahkan wajahnya ke atas. Tepat saat sebotol jus jeruk melayang di atas kepalanya.
“Nih, buat lo diminum ya,” ujar Gilang menyodorkan botol itu kepada Velinda.
”Makasih Kak,” tuturnya membuka tutup botol itu lalu meminumnya.
Gilang menepuk-nepuk kepala Velinda. ”Gak usah kerja terlalu keras, ntar kalau lo pingsan kan...gue yang repot.”
Wajah Velinda bersemu merah. Rasanya ingin sekali ia berteriak kegirangan. Namun, lagi-lagi ia berusaha menyangkal perasaan itu.
”Loh... Muka lo kenapa jadi merah? Lo sakit?” ujarnya memegang dahi gadis itu.
Iya, sakit karena lo kak. Seandainya kata-kata itu dapat terlontar dengan mudahnya dari mulut Velinda. Tapi ia tidak cukup gila untuk mengatakan hal itu di depan umum.
”Gapapa kok kak.” Velinda menepis tangan Kak Gilang, bukan karena tidak suka tapi karena ia sedang salah tingkah.
“Ya udah balik kerja yang bener! Hari ini waktunya menunjukkan hasil kerja keras kita selama ini. Fighting!” ujar Gilang mengepalkan tangannya di dadanya untuk menyuntikkan semangat kepada gadis itu.
Secercah harapan kembali muncul, harapan akan terbalasnya perasaan yang ia simpan selama ini. Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat saat melihat laki-laki itu menghampiri panitia lain untuk memberikan semangat.
Memanglah seharusnya tidak perlu menyimpulkan sesuatu terlalu cepat, bisa saja semua bentuk perhatian yang ia terima merupakan bentuk perhatian yang memang ia salurkan kepada semua orang sebagai teman tidak lebih.
***
Penonton telah memasuki ruang auditorium hingga penuh sesak, tidak ada satupun kursi yang tersisa. Bahkan Gilang sampai harus membuka lantai tiga untuk menampung penonton.
”Gila!” umpat Dirga spontan melihat laki-laki itu sedang berkoordinasi dengan koordinator perlengkapan.
”Vel, liat! Ini pasti udah melebihi target pesertanya sih. Gue seneng banget,” teriak Dirga menggenggam tirai cokelat itu erat-erat.
Velinda menyandarkan kepalanya di tembok. Berharap ini semua segera berakhir. Pikirannya melayang-layang, ia benar-benar tidak bisa berkonsentrasi sekarang.
”Vel...” Dirga menggoyangkan bahu Velinda.
”Hah? Apa? Sekarang udah waktunya opening ceremony?” teriaknya terkejut.
”Belum masih lima belas menit lagi. Lo kayanya capek banget... Lo pasti belum makan ya?”
Velinda mengangguk lemas. “Mendingan lo makan sekarang sebelum lo masuk angin. Ntar gue bilangin deh kalau lo ijin mules ke toilet sama Aldo.”
Begitu mendengar nama itu perut Velinda terasa mual. Rasanya belum begitu lama sejak kejadian itu terjadi. Namun, ia masih harus bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa.
Rencananya ia mau mengutarakan kejadian itu kepada Gilang hari ini juga karena kalau ia mengungkapkannya sebelum acara berjalan maka konsentrasi Gilang dapat terpecah belah.
”Haish!” Velinda mengacak rambutnya berantakan, memikirkan ini semua bisa membuatnya gila.
”Lo belum makan dari pagi kan? Sini ikut gue.” Axel menarik pergelangan tangan Velinda dan menyeret gadis itu keluar.
Dirga yang melihat kejadian itu pun tersenyum lalu menepuk pundak Axel. “Titip rekan gue ya bro! Jangan dibawa kabur.”
”Gue titip jagain adik gue ya. Tolong liatin kalau siapapun yang mau macem-macem sama dia langsung telpon gue aja,” bisik Axel pelan.