“Dir, lo pas deket sama cewek terus jantung lo deg-degan itu artinya apa?” tanya Axel polos.
”Apa artinya gue harus konsul ke dokter jantung kalau jantung gue bermasalah?”
Dirga tersedak brownies cokelat yang sedang dikunyahnya.
”Gak ada angin, gak ada ujan. Tiba-tiba lo nanya gini... Bikin kaget aja. Ya artinya lo suka sama dia lah,” ujar Dirga meneguk air putih dari botolnya.
Axel kembali fokus ke layar di depannya, jarinya memencet tombol playstation dengan asal. Jarang sekali ia bisa mengundang temannya untuk main ke rumah terutama ketika ayahnya tidak sedang bertugas ke luar kota atau luar negeri.
Namun, keberuntungan seolah berpihak ke arahnya, sekarang ayahnya masih belum pulang, kabarnya perjalanan bisnisnya diperpanjang satu minggu lagi sehingga laki-laki itu bebas mengundang siapa saja untuk datang berkunjung.
Bik Inem mengamati Axel dari kejauhan, ia merasa cukup terharu dengan perubahan Axel. Sejak pertama kali pindah ke Jakarta, ia sama sekali belum melihat laki-laki itu tersenyum. Axel yang dulu selalu cemberut, memendam semua rasa yang ia rasakan sendirian kini dapat bergurau dengan teman sebayanya. Bik Inem menerka-nerka kira-kira siapa yang berhasil membuat laki-laki ini menjadi lebih terbuka dengan orang lain? Ia begitu penasaran.
”Kalau gitu... cara deketin cewek itu gimana?” tanya Axel lagi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
”Ya cuma tinggal nunjukin kalau lo ada rasa sama dia. Make her feel special I guess.”
Selain Velinda, Dirga juga telah mengetahui penyakit Axel yang bisa tiba-tiba kambuh tanpa aba-aba. Sudah lama sekali rasanya, Axel bisa menemukan sohib yang klop dengannya. Mulai dari suka game yang sama, musik yang sama bahkan makanan yang sama, asal jangan perempuan yang sama.
”Caranya? Gue bener-bener gak tau cara nunjukinnya. Apa gue harus ngikutin kemanapun dia pergi?” jawabnya memandang Dirga dengan tatapan serius.
Dirga memegang dahi Axel, “Ya Tuhan kok gue ketemu orang macem gini... Kalau lo ngelakuin itu yang ada cewek pada kabur... Bentar-bentar Cewek yang lo maksud ini Velinda kan?”
Axel tersentak kaget. ”Gimana bisa lo tahu?”
Dirga geleng-geleng kepala, menepuk pundak Axel. ”Keliatan banget bego! Cuma orang dungu yang gak tau, tapi tenang kayanya anaknya masih belum tau... Gue heran kenapa orang pinter kalau soal cinta itu bakal jadi bego banget. Emangnya jatuh cinta bisa buat IQ orang jadi turun ya?”
Axel mengangkat bahunya. ”Mana gue tau! Lo aja yang terlalu peka kali.”
“Tapi gue rasa lo punya saingan berat bro...”
”Siapa?”
”Gilang, kayanya Velinda suka sama kakak kelas itu.”
”Berarti gue harus nyerah dong?”
”Perasaan itu gampang berubah, Xel. Jadi, lo gak usah khawatir kalau masalah itu. Sini gue kasih tahu caranya..”
***
“Ada keluhan apa hari ini?” tanya Dokter Han melihat Axel tersenyum sumringah, auranya hari ini terlihat sangat berbeda.
”Otot saya jadi sering kaku, Dok. Kayanya efek kecapekan deh, sekarang saya ikut klub basket sama paduan suara. Padet banget jadwalnya.”
”Selain itu ada hal lain?” Dokter Han mengambil bolpoin untuk mencatat perkembangan kondisi Axel.
”Minggu lalu waktu kepala saya kena bola basket. Tiba-tiba bayangan itu terlihat semakin jelas dok... Saya melihat darah di tangan saya. Bener-bener terlihat nyata.”
Dokter Han menganggukkan kepalanya seakan mengerti dengan kondisi laki-laki dihadapannya. “Itu sih karena dulu kamu sempat mengalami benturan di kepala. Jadi, seakan kejadian itu terulang kembali. Kalau insomnya gimana?”
”Sudah lebih baik, Dok. Kemarin kemarin susah banget rasanya buat tidur... Pas udah tidur malah mimpi itu terulang terus di kepala. Jadi takut buat sekedar nutup mata.. Tapi abis minum obat yang dokter kasih kemarin, sudah mulai bisa tidur normal.”
Dokter Han kembali menorehkan tinta di atas map merah. Hmm... Jadi dia mengalami delusi bahkan sampai ke alam bawah sadarnya? Namun, setelah diberi obat penenang semuanya hilang begitu saja.