Aldo diskors selama satu bulan akibat perbuatannya. Axel juga harus menanggung hukuman untuk diam dirumah selama satu minggu karena berusaha melukai Aldo yang berakhir harus masuk ke rumah sakit karena lukanya yang cukup parah. Berita itu telah menyebar dengan cepat. Semua orang dari seluruh jenjang sekolah telah mengetahui aksi Aldo yang melakukan pelecehan seksual kepada beberapa anggotanya. Juga aksi Axel yang menghajar laki-laki itu di malam akhir acara pentas seni. Beberapa nama perempuan telah disebutkan menjadi korban termasuk Sherrina.
Sejak itu, ada beberapa pandangan tidak mengenakan yang ditujukan kepadanya. Gadis itu tahu bahwa ini adalah konsekuensi akibat tersebarnya berita itu. Ia berusaha tidak peduli. Namun, hatinya berkata sebaliknya.
“Sher, makan bareng yuk,” ajak Velinda menepuk pergelangan tangan Sherrina.
Velinda juga telah mendengar bahwa kejadian itu telah tersebar, ia tahu bahwa gadis di hadapannya ini masih dalam proses pemulihan. Jiwanya pasti bergetar setelah diperlakukan seperti itu oleh orang yang tidak bermoral. Ia pikir bahwa akan lebih baik jika ia dapat menemani Sherrina selama beberapa hari kedepan, setidaknya hingga rumor itu akan menghilang dengan sendirinya tergantikan oleh rumor lain.
”Ehh.. ayo,” jawab gadis itu memaksakan senyumnya agar tersungging di wajahnya.
Kali ini Velinda mengajak Sherrina untuk bergabung makan bersama dengan teman-temannya.
”Eh... kenalin dulu ini Sherrina,” ujarnya saat berhasil membawa gadis itu kehadapannya teman-temannya.
”Gue Nayla, salam kenal ya. Ternyata aslinya lebih cakep dari di foto,” balas Nayra memperhatikan wajah Sherrina dengan seksama.
”Ini pasti Sherrina adiknya Axel ya? Kenalin gue, Rosalie. Yang kemarin pernah main ke rumah Axel.”
Nayla membelalakan matanya. ”Hah? Kok lo gak cerita-cerita pernah ke rumah Axel.”
”Itu... buat yang kemarin kerja kelompok itu loh.”
Nayra membulatkan mulutnya yang selanjutnya diikuti dengan anggukan kecil.
”Hai, kenalin gue Pamela,” ujar Pamela mengulurkan tangannya.
Salam hangat itu disambut oleh Sherrina dengan tatapan penuh haru. “Salam kenal ya kakak-kakak semua.”
“Ohh... jadi itu cewek korbannya Aldo? Cakep sih.” Suara itu terdengar dari kursi seberang.
Tepat diseberang kursi mereka, terdapat sekumpulan laki-laki yang sepertinya adalah kakak kelas, mereka memakai dasi berwarna biru.
”Emang cakep tapi sayang... udah dipake sama Aldo dong ya?” balas temannya dengan tatapan mengejek.
Pamela yang mendengarkan percakapan itu meremas botol air mineral di genggamannya. Sial! Orang kaya gitu bisa mati aja gak sih.
Velinda menyentuh telapak tangan Pamela, lalu menggelengkan kepalanya. “Gak usah diurus orang kaya gitu buang-buang waktu aja,” bisiknya pelan.
Sherrina menundukan wajahnya, ia mati-matian menahan air mata yang telah terbendung di pelupuk matanya.
Salah satu dari laki-laki itu kemudian bersiul. “Dari pada sama Aldo, mending main sama kita deh... Sher, walaupun bekas Aldo tapi karena lo cantik banget jadi masih bisa dimaafin.”
Wajah Nayla memerah, ia sudah tidak tahan lagi mendengar ocehan omong kosong itu. Ia beranjak dari tempatnya berdiri. Ingin memberi pelajaran kepada laki-laki yang ada didepannya. Ucapan mereka sudah sangat keterlaluan serta sangat tidak manusiawi.
Belum sempat ia mengumpat dengan keras. Velinda sudah terlebih dahulu menyiram laki-laki itu dengan segelas es teh.
”Ups.. Maaf kak gak sengaja. Gue kira di sini tempat sampah, abis mirip sih isinya sampah semua.”
Farrel menggebrak meja lalu beranjak dari kursinya.
”LO! Maksud lo apa berani sama gue? Lo gak tahu siapa gue?” teriaknya kencang, membuat seisi kantin menoleh ke arah mereka.
“Gak... dan gue rasa gue gak perlu tahu. Udah dipake? Kalau ngomong lebih baik dipikir dulu, daripada asal nyeblak tapi salah semua, malu keliatan begonya.”
Farrel menjambak rambut Velinda, “Lo... kalau gak tahu juga gak usah sok tahu! Emang bener kan dipake, gue ngomong fakta!”
Velinda berteriak saat juntaian rambutnya ditarik dengan keras. Rasanya ia ingin menghajar laki-laki di depannya itu dengan pukulan dari kedua tangannya. Namun, tenaganya tidak cukup kuat untuk itu.
Gilang berencana untuk menyerahkan map yang berisikan lembar pertanggung jawaban atas acara yang diselenggarakannya ke ruang guru. Namun, Raditya menelepon bahwa telah terjadi keributan di dalam kantin. Pelakunya tidak lain adalah pentolan kelasnya sendiri.
Mendengar peristiwa itu langsung buru-buru ke kantin. Ia menjatuhkan map ditangannya saat melihat rambut Velinda dijambak dengan kasar oleh teman sekelasnya.
Dengan secepat kilat, Gilang mencengkeram tangan Farrel.
”Maksud lo apa... ngelakuin ini?” tanyanya berusaha menahan amarah yang meluap di dadanya.
”Eh.. sob lo gak usah ikut campur deh mending urusin acara lo itu yang gagal total. Masa ada anggotanya yang ngelakuin hal gituan. Ketuanya gak tahu sih.”