Cindervelin

Evelyn
Chapter #21

#20 Bimbang

Arvin menghembuskan napasnya kasar, menghentakkan kedua kakinya gusar. Ia melirik jam di ponselnya. “Aish! Kenapa Velin belum ngasih kabar sih... Apa gue harus jemput dia sekarang...? Tapi di mana? Katanya dia main ke rumah temen.”

Arvin mendengar suara klakson mobil yang mendekat ke arah rumahnya. Dengan sergap, Arvin membuka jendelanya untuk melihat siapa yang datang. Ibunya? Tidak mungkin, ia pasti sedang mengurus proses pemakaman adiknya.

”Velinda? Dia diantarkan... sama cowok kemarin?” Arvin menutup jendelanya, buru-buru turun untuk menemui gadis itu.

”Makasih udah nganterin ya, Axel. Thank you for everything,” bisiknya pelan lalu berjalan ke dalam rumah sambil melambaikan tangan ke arah Axel.

Axel tersenyum lega, melihat Velinda sudah sampai di rumahnya. Perasaan gadis itu yang tadinya meledak-ledak juga sudah mereda.

“Kamu juga ya... Jangan tidur kemaleman. Your heart must be really tired. Langsung tidur aja abis gini.”

Velinda menahan tawanya, ia tidak salah mendengarkan kan? kalau Axel memakai sebutan aku-kamu.

”Tumben pake aku-kamu biasanya kan gue-lo.”

”Sebutan aku-kamu kan ke orang yang deket. Bukanlah kita udah cukup deket. Apa cuma aku aja yang kegeeran?” jawab Axel nyengir.

Velinda membalikan badannya ia tidak akan membiarkan Axel melihat mukanya kembali memerah seperti kepiting rebus, “Udah aja pulang sana! Aku bisa masuk sendiri kok.”

Arvin menunggu dibalik pintu, mendengar semua percakapan itu membuatnya... terkejut. Ternyata hubungan laki-laki itu dengan Velinda sudah sejauh ini? Bagaimana kalau hal itu benar... bagimana kalau ternyata keluarga dari laki-laki itu penyebab kematian ayahnya. Apa yang harus ia katakan kepada adiknya agar menjauhi laki-laki itu.

Velinda terjingkat ketika melihat sosok kakaknya di balik pintu kayu yang didorongnya. ”Kak! Hampir aja jantung gue copot... Ngapain berdiri di depan pintu sih.”

”Lo itu ya! Ditelpon beberapa kali gak diangkat, gak ngabarin juga lagi dimana. Gue sampe bingung harus nyari lo kemana lagi. Gue tau lo pasti habis terpukul kan habis terima telpon dari mama...” suaranya terdengar sendu.

Velinda tahu bahwa kakaknya pun turut merasakan kehilangan yang begitu mendalam, satu sosok yang bisa diandalkan kembali dipanggil oleh Yang Kuasa. Manusia bisa apa lagi? Selain menelan bulat-bulat pahit getirnya kehidupan.

”Maaf, Kak. Gak bermaksud buat kakak khawatir. Tadi batre ponsel gue abis... Terlalu shock sampe gak bisa ngangkat telepon.”

Arvin merengkuh tubuh mungil di depannya. “Haish! Lain kali jangan suka bikin orang khawatir dong... Setidaknya lo ngabarin di rumah siapa kek... Kasih nomer telpon orang itu sebelum pergi ke rumahnya.”

Velinda tersenyum, rasanya begitu hangat berada dipelukkan kakaknya. Walaupun Arvin sering bawel dan ngegas, ia tahu bahwa sosok kakak di depannya amat menyayanginya.

“Kalau lo mau nangis sekarang lo boleh nangis gue gak akan liat... Tapi jangan pergi tanpa kabar kaya gitu lagi. Gue gak mau lagi kehilangan orang yang amat gue sayang.”

Arvin juga tahu kebiasaan adiknya, ia susah melampiaskan semua rasa yang terpendam di dalam hatinya. Sampai seluruh rasa itu dapat membuatnya sulit untuk bernapas.

Lihat selengkapnya