Arvin mengetuk-ngetukan tangannya di meja. Keringat mulai bercucuran dari wajahnya, bukan karena cuaca hari ini sangat panas tapi ia sangat gelisah dengan pertemuan ini. Ia sama sekali tidak tahu informasi tentang siapa yang akan ia temui.
”Halo, maaf menunggu agak lama. Saya terjebak macet tadi..” ujar laki-laki itu menarik kursi dihadapan Arvin.
Mata Arvin terbelalak, pria dihadapannya adalah Pak Surya Sastimajo. Bagaimana cara ia tidak mengetahui pengusaha sukses itu. Namanya selalu tercetak di halaman utama koran nasional maupun terpampang di saluran televisi. Salah satu pemegang saham Utama perusahaan telekomunikasi ternama.
”Iya gapapa, Pak. Saya Arvin... Ada apa ya bapak memanggil saya?” jawabnya gelagapan.
Di ruangan itu hanya ada mereka berdua, ruangan VVIP ini sengaja dipesan untuk pertemuan ini. Ruangan ini dihiasi dengan interior yang mewah sengaja diperuntukkan untuk rapat atau pertemuan keluarga.
Beberapa jenis makanan berat telah tersaji di meja makan. Arvin menelan ludahnya, melipat tangannya di bawah meja. Tidak tahu harus melakukan apa.
”Ayo, makan dulu gak usah sungkan-sungkan. Nanti sambil makan baru kita bicara,” ujar pria itu menyendok beberapa makanan ke dalam piringnya.
Badan Arvin terasa kaku, ia tidak sanggup menggerakkan tangannya. Pria itu mengambil sendok lalu meletakkan makanan itu ke dalam piring Arvin.
Pria itu mulai menyuapkan sendok demi sendok ke dalam mulutnya. Diikuti oleh Arvin yang mulai mencicipi makanan itu. Ketika makanan itu masuk ke dalam mulutnya, Arvin rasanya seperti terbang ke langit ketujuh. Makanan macem apa ini? Kok rasanya enak banget. Terakhir kali ia bisa makan seperti ini adalah ketika semasa ayahnya masih hidup.
”Tujuan saya memanggil kamu hari ini. Saya tahu informasi tentang pelaku pembunuhan ayahmu. Dan orang yang telah membunuh ayahmu memiliki niat buruk kepada saya.”
Arvin meletakkan sendok dan garpu yang dipegangnya, lidahnya kelu. Rupanya dugaannya selama ini tidak salah, pasti ada orang yang berniat jahat pada ayahnya. Namun, semua orang tidak pernah percaya kepadanya.
”Saya berniat memberi pelajaran kepada orang itu... Gimama menurutmu?”
”Apa yang membuat anda yakin bahwa ia adalah pelaku dari pembunuhan mendiang ayah saya?” tanya Arvin dengan wajah penuh tanya.
”Saya mempunyai buktinya... Orang yang ia suruh untuk membereskan semua masalah ini telah berpihak kepada saya. Kalau untuk buktinya... saya tinggal meminta pihak kepolisian untuk membuka kembali kasus itu...” ucapnya lirih.
Arvin menggigit bibirnya, berusaha mencerna semua kata demi kata yang diucapkan oleh orang penting di depannya.
“Saya sebenarnya hanya memiliki bukti kecil...” ujar Arvin mengeluarkan foto anak laki-laki dan perempuan yang nampak usang dari dompetnya, gambar di foto itu mulai kabur mungkin karena sudah disimpan selama beberapa tahun, ia menunjukkan foto itu kepada Pak Surya.
Pak Surya melihat foto itu dengan seksama, “Pelakunya adalah ayah dari kedua anak ini. Apakah kamu tahu... bahwa anak-anak mereka ini sekolah di tempat yang sama dengan adikmu.”
”Dan sekarang orang itu ingin mencelakai saya. Saya membutuhkan bantuan kamu untuk menjadi saksi apakah kamu bersedia?”
***
Velinda memberengut kesal. Axel belum juga tiba di cafe padahal sekarang waktu telah menunjukkan pukul empat sore. Katanya ia mau mengatakan sesuatu yang penting dan harus diutarakan hari ini juga. Ia sudah tidak sabar mendengar apa yang mau disampaikan Axel. Apakah dia mau menyatakan cinta?
Velinda menepuk pipinya keras-keras. “Ahh jangan gila, Vel. Bisa aja dia cuma mau berterima kasih karena... udah nolongin Sherrina.”
Gadis itu melirik jam tangannya. Belum ada tanda-tanda bahwa Axel akan datang. Biasanya dia akan menghubungi Velinda, jika terlambat atau ada sesuatu yang terjadi.
Ia menyesap kopi di cangkirnya sambil menopangkan dagunya, pandangannya mengarah ke luar, melihat hiruk-pikuk kota Jakarta di sore hari.
Axel menggenggam sekuntum bunga mawar merah dan kotak berisi kalung silver yang nampak berkilauan, ia berjalan berdampingan bersama Dirga yang membantunya membawa hadiah kejutan lain. Axel berencana untuk menyatakan perasaannya hari ini. Setelah mendengarkan saran Dirga, ia akhirnya menyiapkan semua keperluan dengan penuh antusias.