Pria itu mengumpat dalam hati. Sepertinya baru satu hari yang lalu, ia bebas untuk pergi dan melakukan apapun. Kini semua telah berubah, ia memandangi sekitar, jeruji besi itu nampak kokoh membatasi ruang geraknya.
Ia menyandarkan kepalanya ke arah tembok lalu memandang ke langit-langit. Seharusnya ia memikirkan terlebih dahulu konsekuensi atas perbuatannya, tapi seringkali ia bertindak terlalu implusif.
“Tahanan nomer dua satu, ada kunjungan,” ujar salah satu orang yang mengenakan seragam polisi membuka kunci sel tahanan Pak Wijaya.
Pak Wijaya berjalan dengan tengan diborgol besi menuju ke arah bilik tempat para tahanan bertemu dengan pengunjung. Ruangan itu dibatasi oleh sekat plastik, hanya tersedia lubang kecil dibawah yang ukurannya sebatas satu telapak tangan.
Ia menyipitkan matanya melihat siapa yang akan mengunjunginya hari ini. Jantungnya seakan melompat dari tempatnya ketika melihat orang yang mengunjunginya adalah orang yang saat ini paling tidak ingin ia temui.
”Gimana rasanya berada di posisi yang lemah dan tak bisa melakukan apapun?” ungkap Pak Surya dengan senyum menyeringai.
Pak Wijaya mengepalkan tangannya, lidahnya terlalu kelu untuk mengeluarkan kata-kata balasan.
“Jangan karena merasa superior lalu bisa dengan seenaknya menekan orang lain. Ingat roda kehidupan itu berputar, Jay. Kamu gak akan selalu berada di atas.”
***
Sudah satu minggu Axel mengunci dirinya dikamar, ia tidak mau pergi ke sekolah bahkan untuk makan saja segan. Bik Inem berjalan mondar mandir, telah berusaha untuk mengetuk pintu kayu itu beberapa kali. Namun, tidak ada jawaban dari dalam kamar.
”Non... Tolong bilangin den Axel suruh makan. Dari kemarin makanannya gak disentuh sama sekali,” ujar Bik Inem menyerahkan nampan berisi makanan kesukaaan Axel, semangkuk bakso dan segelas susu cokelat.
Sherrina mengangguk, mengambil alih nampan itu dari tangan Bik Inem.
”Kak...” ujar Sherrina lirih. “Buka pintunya dong, aku mau ngomong.” Sherrina masih belum mendengar jawaban dari Axel.
”Ini semua bukan salah kakak kok. Kak Velinda juga pasti ngerti kok. Gak usah dipikir terlalu keras gitu... Mending kakak buka pintunya dulu, kita ngobrolin masalah ini pelan-pelan..”
Beberapa detik kemudian, Axel membuka kunci kamarnya. ”Masuk...” ujarnya lemah.
”Kak! Muka kakak pucat banget,” seru Sherrina ketika melihat wajah kakaknya yang sudah seperti zombie berjalan. Rambut laki-laki itu terlihat berantakan, matanya sayu.
”Please, jangan gini dong. Don’t hurt yourself, dengan kakak ngurung diri gini juga gak bakal ngubah fakta apapun. Mending kakak makan dulu... Ini ada makanan kesukaan kakak.”
Axel mulai menyentuh mangkok yang masih panas, uap dari kuah bakso itu mengepul ke atas. Bau harum itu masuk ke dalam hidungnya, biasanya ia akan langsung melahap makanan itu. Namun, hari ini ia sama sekali tidak memiliki selera makan.
”I know, Sher. Tapi aku masih terlalu takut untuk menerima ini semua. I can’t face this kind of situation what should I do?” ujarnya memainkan sendok di dalam mangkok.
”In life, anything can happen beyond our expectation either its a good or bad thing. Sesuatu itu mungkin pada awalnya emang bakal susah kita terima but life goes on kak.... Kakak gak bisa terjebak di dalam masalah ini terus menerus lagian di masalah ini bukan kakak yang salah tapi papa.”
Sherrina mendekap sosok laki-laki dihadapannya. “It’s okay... gak harus langsung bisa nerima kok. Step by step, pelan-pelan. Pull yourself together. Jangan lupa dua bulan depan, kakak harus mewakili tim basket sekolah kita buat bertanding di lapangan. Bukankah itu cita-cita kakak dari dulu ya?”