Bel istirahat di SMA 69 Bogor sudah berdering lima menit lalu. Suasana sekolah yang semula sepi mendadak ramai. Koridor sekolah, lapangan terutama kantin penuh dengan lautan remaja yang memakai seragam putih abu-abu. Mereka saling berlomba untuk mendapatkan pelayanan pertama dari para penjual di kantin. Karena jika tidak saling mendahului maka risikonya mereka akan kehabisan jajanan yang sudah mereka incar sejak di kelas tadi.
Hal itupun terjadi di warungnya Ceu Odah, seorang penjual cilok yang paling hits seantero sekolah. Dua orang remaja memesan cilok di saat yang bersamaan. Sementara cilok yang ada di dalam panci terlihat tinggal sedikit.
Qimala Hanindya, atau biasa di panggil Mala, menatap laki-laki yang berdiri disebelahnya dengan sinis. Tangan gadis itu ia julurkan ke arah Ceu Odah sambil menyerahkan uang lima ribu rupiah.
"Saya dulu Ceu. Ciloknya lima ribu," kata Mala tidak ingin di dahului oleh orang yang berdiri di sebelahnya
Laki-laki yang berdiri di sebelahnya tersenyum melecehkan. Ia tahu betul kalau gadis yang berdiri di dekatnya tidak pernah mau kalah. Namun sayangnya ia juga memiliki sifat yang sama. Sejak tadi Ramalto Sanjaya juga menjulurkan tangannya ke arah Ceu Odah sambil menyerahkan uang lima ribu rupiah.
"Enak aja! Gue duluan yang nyampe, jadi cilok itu semuanya punya gue." Malto menunjuk ke arah cilok yang ada di dalam panci.
"Kita nyampenya barengan ya."
"Enggak! Gue satu koma lima detik lebi dulu nyampe daripada lo." Malto menunjuk ke wajah Mala.
Mala berkacak pinggang ia mendengus sambil menatap Malto. "He! Memangnya lo gak pernah denger yang namanya ladies first ya."
"Maaf ya princess, di sekolah ini gak mengenal yang namanya ladies first. Semua orang di sini di perlakukan sama rata."
Beberapa orang yang berjalan di sekitar mereka hanya geleng-geleng kepala. Bagi mereka semua hal itu sudah biasa di lihat. Malah justru akan aneh jika mereka tidak melihat Mala dan Malto bertengkar atau memperebutkan sesuatu.
"Cilok aja di ributin dasar norak lo pada," ucap Arin teman Mala, yang ternyata sudah lebih dulu membeli semua cilok yang tersisa. Gadis itu geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua temannya. Ia lalu pergi begitu saja dengan sebuah kebanggaan karena berhasil mendapatkan ciloknya Ceu Odah yang sedang di perebutkan oleh Mala dan Malto.
"Tuh kan lo sih! Jadi aja ciloknya abis," ucap Mala kesal lalu melepaskan jeweran tangannya.
"Lah, gue di salahin. Emangnya lo setiap hari harus makan cilok ya. Lo tau gak sih, kalau kebanyakan makan cilok dada lo ukurannya bisa sama kaya cilok."
"Anjritt!!" Mala kesal ia lalu menjambak rambut Malto hingga laki-laki itu meringis lagi.
"Aduh! Aduh! rambut gue. Kalau mau, lo jangan jambak rambut gue yang di kepala La. Mendingan lo jambak rambut gue yang di bawah."
Mala semakin kesal mendengarnya. Ia mengencangkan jambakannya. "Dasar Cabul. Gak guna lo sekolah juga."
" La! La! Maksud gue rambut di kaki gue. Emang lo mikirnya rambut di mana? Tuh kan emang dasar lo aja yang otaknya ngeres," ucap Malto.
Entah darimana tiba-tiba pacar Mala datang memisahkan mereka berdua. "Ini kenapa lagi sih. Perasaan setiap hari kalian berantem terus. Memangnya gak bosen apa?" kata Savaldi Ardiansyah atau biasa di panggil Valdi. Ia satu kelas dengan Mala dan Malto sehingga Valdi sudah terbiasa melihat kedua orang itu bertengkar.
"Cewek lo nih alay. Udah gitu gayanya kaya preman lagi. Kok lo kuat sih sama dia. Kalau gue punya cewek kaya dia dalam waktu dua bulan gue pasti udah kena stroke," ujar Malto ia tidak sadar rambutnya berantakan.
"Iya gue sumpahin lo bakalan pacaran sama cewek alay yang aneh terus lo kena stroke."
Di tengah keributan kedua orang itu tiba-tiba bel tandak masuk berdering membuat Mala dan Malto terkejut.
"Loh kok udah bel sih?" kata Mala.
"Ya kalian sih berantemnya kelamaan. Jadi udah bel deh. Ayo buruan kita masuk, kalian tau kan sekarang jam pelajarannya siapa," ucap Valdi lalu menarik tangan Mala. Mereka tidak boleh terlambat walaupun hanya satu menit. Karena sehabis jam istirahat ada pelajarannya Ibu Nuke, guru matematika yang sangat tegas dan disiplin. Ibu Nuke paling tidak suka jika ada muridnya yang terlambat. Sehingga ia pasti akan langsung menghukum murid itu.
Saat ini mereka sudah masuk ke kelas 12-E sebuah kelas yang dianggap kelas paling sering membuat keonaran oleh para guru dan murid SMA 69 Bogor yang lainnya. Tidak heran kalau kelas ini di juluki sebagai The Trouble Maker Class. Mala duduk di meja paling depan bersama dengan Tanisa Safara. Sementara Malto duduk di samping Valdi tepat di belakang kursi Mala dan Fara.
"Kenapa lo La keram ya, lagi dapet?" tanya Tanisa Safara, biasa dipanggil Fara.
Mala memegangi perutnya yang terasa sakit. Sejak pagi ia belum makan. Hari ini Mala bangun kesiangan sehingga ia tidak sempat sarapan di rumah. Lalu ketika di kantin juga ia belum sempat membeli apapun untuk sekedar mengisi perutnya yang kosong.
"Nih gara-gara si kunyuk gue jadi kelaperan," ucap Mala menggerakan dagunya ke arah Malto yang duduk tepat di belakangnya.
"Idih hobinya nyalahin orang."
"Ya memang gara-gara lo, jadinya gue gak sempet makan di kantin."
"Ssttt... udah, udah. Nanti pulang sekolah kita makan di luar ya," kata Valdi.
"Yes! Makasih ya Valdi sayang lo memang temen gue yang paling baik gak kaya lo." Malto menyandarkan kepalanya di bahu Valdi sambil menatap Mala. Valdi sedikit jijik ia menyingkirkan kepala Malto dari pundaknya.