Belum ada pesawat terbang yang bisa ke kota gue. Jadi mau nggak mau, gue harus milih antara mobil dan kereta api. Jalan tercepat adalah dengan mobil. Tama mengantar gue dengan mobilnya. Tama langsung menelepon papa dan meminta papa untuk mengambil alih segala urusan perusahaan.
Sepanjang perjalanan gue terus berhubungan sama orang yang ngabarin gue. Beliau adalah tetangga emak, Bu Sonia namanya. Katanya emak mau berangkat ke kantin, pas mau nyebrang jalan, emak ditabrak mobil. Badan emak sampai terpelanting 10 meter. Kebayang kan emak ditabraknya sekencang apa.
Waktu dibawa ke Rumah Sakit, emak udah nggak sadarkan diri. Saat ini, emak sedang dalam proses operasi. Untungnya, emak cepat dilarikan ke rumah sakit, sehingga bisa langsung ditangani. Proses operasi bisa memakan waktu 6-10 jam, tergantung kondisi emak. Gue nggak bisa mikir. Saat ini gue super down dan hanya bisa nangis.
“Tama.. Emak nggak bakal kenapa-kenapa kan?” tanya gue dengan khawatir.
Tama hanya terdiam dan terus menggenggam tangan gue. Sesekali Tama mengelus kepala gue. Amoi nelponin terus, tapi gue nggak sanggup buat ngomong. Karena setiap gue ngomong sama Amoi, gue pasti makin nangis gila-gilaan. Jadi sebagai gantinya, Tama yang ngobrol sama Amoi. Katanya besok pagi, Amoi akan sampe ke rumah sakit.
Dalam waktu 5 jam, akhirnya gue dan Tama sampe ke rumah sakit. Tama nggak ijinin gue turun duluan, karena dia tau gue pasti akan sangat emosional. Untungnya, nggak susah dapet parkir disini. Gue cepet-cepet turun dari mobil dan berlari masuk ke rumah sakit. Gue langsung tanya ke administrasi dan mereka langsung menunjukkan dimana arah ruang operasi. Gue dan Tama langsung berlari kesana. Pas nyampe kesana, gue liat ada bu Sonia dan pak RT.
Bu Sonia langsung menghampiri gue dan ikut menangis khawatir. Tama langsung memperkenalkan diri ke bu Sonia dan pak RT sebagai suami gue. Lalu Tama berbincang dengan pak RT, tentang kronologi kejadian yang menimpa emak. Pak RT nggak berbohong, menurutnya kondisi emak cukup mengkhawatirkan. Pak RT juga bilang, kalo orang yang nabrak emak, saat ini sudah ditahan di kantor polisi.
Udah 6 jam emak menjalani proses operasi. Gue dan Tama, meminta bu Sonia dan pak RT untuk pulang lebih dulu dan menunggu kabar kami selanjutnya. Nggak lupa gue ngucapin ribuan terimakasih atas pertolongan dan perhatian mereka sama emak. Gue terduduk dengan lemas.
Gue nggak nyangka, hal ini akan kejadian sama emak. Kenapa emak harus ngalamin peristiwa seperti ini? Kenapa dalam hidupnya, emak banyak ngalamin hal yang menyakitkan? Seandainya gue disini, gue pasti bisa jagain emak. Gue menyalahkan diri sendiri. Gue duduk didepan ruang operasi, dengan perasaan sedih.
Tama duduk disebelah gue dan menutup badan gue dengan blazernya. Disini nggak dingin sama sekali, tapi badan gue gemeteran karena takut. Tama memeluk gue untuk menenangkan gue. Tama yang baru kembali dari bagian administrasi, bawain gue makanan dan segelas kopi. Gue sama sekali nggak ada nafsu makan atau minum, sebelum tau kondisi emak.
“Hey.. apa emak bakalan happy kalo lu sampe sakit?” Tama berusaha membujuk gue.
“Kalo sampe.. Emak…… gue.." gue nggak bisa nerusin kata-kata gue dan kembali menangis.
Gue nggak bisa berenti mikirin semua kemungkinan terburuk. Gue nggak siap dan nggak akan pernah rela kehilangan emak. Selama ini, gue cuma nyusahin emak. Gue belum bikin emak bahagia. Gue belum kasih emak cucu. Gue belum ajak emak jalan-jalan di ibukota. Bahkan gue punya cita-cita mau ajak emak keliling dunia.
Tuhan.. tolong, kali ini dengerin doa gue. Lampu didepan ruang operasi padam, artinya operasi selesai. Gue dan Tama langsung berdiri. Beberapa dokter dan perawat keluar dari ruangan operasi, kemudian salah satu dokter menghampiri kami.
“Kerabat ibu Sora?” tanyanya ke kami.