CINTA 1/2 MATENG

Jessy Anggrainy Rian
Chapter #36

MANIPULASI

Malam ini hujan turun dengan sangat deras membasahi ibukota. Petir menyambar-nyambar dilangit malam ibukota. Dramatis banget kan? Untung nggak diiringin pake lolongan serigala. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, gue dan Tama hanya bisa terdiam. Gue terus berpikir apa yang bisa gue lakukan buat Tama? Apa yang bisa gue lakukan untuk memperbaiki semua ini?

“ aaaahhh… “ tiba-tiba luka bekas tusukan gue terasa sakit.

“ Kenapa?” tanya Tama khawatir dan memberhentikan mobilnya dipinggir jalan.

“ Nggak tau.. tiba-tiba sakit.. “ kata gue memegang perut gue.

“ Kita ke rumah sakit ya.. “ Tama mau menjalankan mobilnya.

“ No.. Tama wait.. “ kata gue menahan Tama.

Tama memandang gue yang udah berkaca-kaca.

               “ Kita ke rumah Papa.. gue nggak percaya Papa nggak mau dengerin kita.. “ gue menatap Tama.

               “ Mai.. seumur hidup.. itulah yang gue lakukan.. mencoba supaya Papa mau dengerin gue.. “ kata Tama sedih.

               “ Tapi waktu itu, lu berjuang sendiri.. now you have me.. this is our fight! Remember? “ Gue menggenggam tangan Tama.

               Tama kembali memandang gue, ada perasaan bingung dimatanya.

               “ Seandainya wasiat itu nggak jatuh ke tangan gue… Apa lu akan ninggalin gue?” tanya Tama.

               Sebenernya gue sedih sama pertanyaan Tama. Apakah Tama berpikir kalo gue cinta sama dia karena dia adalah seorang CEO Arthur Group?

               “ Hampir separuh hidup lu, lu jalanin buat running Arthur Group. Buat apa? Buat pertahankan perusahaan yang udah Nenek bangun dari nol kan? Ini bukan masalah wasiat.. seandainya Nevan yang mengelola perusahaan pun, gue yakin dia bisa ngejalaninnya dengan baik. Tapi… apa lu rela Arthur Group hancur ditangan seseorang seperti Tante Rossy??” tanya gue ke Tama.

               “ Lu tau, gue ini begok didunia bisnis. Tapi, gue liat perjuangan lu selama ini Tama.. Hati lu, tenaga lu, waktu lu.. gue nggak rela....kalo Papa dengan segampang itu...“ air mata gue mengalir, karena saat ini gue sangat kesal sama keputusan Papa yang mendepak Tama tanpa memikirkan perjuangan Tama selama ini.  

               Tama menghapus air mata gue.

               “ Kalo malem ini, Papa tetep nggak mau dengerin kita.. gue akan…. mengaku kalah.. “ gue menunduk. 

Tama menjalankan mobilnya dan dalam 1 jam kami sampai ke rumah Papa. Selama bertahun-tahun, bangunan megah ini, hanyalah menjadi saksi bisu kelakuan keji Tante Rossy sama Tama dan Nevan. Tama heran karena pintu gerbang nggak terbuka otomatis saat mobil Tama datang. Papa harus sampe segininya kah?

Gue telpon Nevan. Nevan bilang, Papa sama sekali nggak ngijinin siapapun untuk bukain pintu gerbang buat kami. Nevan nyuruh kami pulang dan bilang sedang berusaha bujuk Papa. Untungnya Tante Rossy belum pulang. Hari ini dia keluar kota bareng sama Pak Heri. Setidaknya, sebelum Tante Rossy pulang, gue harus bicara sama Papa.

Gue dan Tama sepakat akan berjuang. Apapun caranya kami akan berusaha untuk membuat Papa mau denger kami, sebelum Tante Rossy pulang. Gue dan Tama turun dari mobil. Kami biarkan hujan membasahi badan kami. Gue tau, Papa bisa ngeliat kami dari CCTV. Apakah Papa tetep nggak peduli walau hujan deras mengguyur badan kami?

Udah 2 jam berlalu. Gue dan Tama bergandengan tangan didepan gerbang sambil membiarkan badan kami basah kuyup, diguyur hujan deras. Nggak tau kenapa, langit seperti pengen menyiksa kami. Hujan bukannya makin reda, malah makin deras. Badan kami udah menggigil dan luka bekas operasi gue pun kembali nyeri.

Lihat selengkapnya