Aku mungkin sedang jatuh cinta. Jatuh cinta pada seorang gadis yang dingin tapi manis. Aku mengenalnya di barisan para aktivis kampus yang cerdas dan pemberani, barisan pemberontak yang ingin terlepas dari belenggu pemerintahan saat itu. Aku ingat betul, cewek mungil yang duduk di sudut ruangan tanpa kata, namun matanya yang nanar membuat aku penasaran seperti apakah suaranya. Mungkin dia cerewet, pemarah dan menyimpan banyak dendam. Tapi salah, meski dia bertubuh mungil, tetapi suaranya begitu berwibawa, aku sempat tercekat, kalimat yang diutarakan saat itu membuat aku lupa akan topik pembicaraan. Sumpah ! aku jatuh cinta.
Waktu itu aku berpikiran satu satunya batu ganjalan buat aku dekat dengannya adalah Rudi. Rudi, pemuda tampan yang membawanya berada di lingkungan aktivis. Orang-orang bilang Rudi adalah pacarnya, tapi aku berkeyakinan ‘bukan’. Aku dan Rudi serta beberapa teman yang pernah tergabung dalam gerakan bawah tanah pernah berikrar tidak akan pernah pacaran sebelum perjuangan selesai, walaupun tidak tahu sampai kapan akan selesai. Karena yang namanya perjuangan akan terus berlangsung sampai akhir hayat. Tapi bisa jadi Rudi mengkhianati prinsipnya ketika bertemu dengan gadis secantik dan semenarik dia. Seperti aku yang mulai mengesampingkan prinsip tak beralasan itu. Aku mulai berpikir, bahwa mencintai seseorang tidak akan melunturkan nilai-nilai perjuangan, apalagi orang yang dicintai itu ada di barisan yang sama. Oh, kalau memang benar, alangkah sempurnanya perjuangan itu.
Rayhan…
Nama itu menari-nari di sanubariku. Diam-diam aku menaruh ambisi untuk mendekatinya, akh... kurasa bukanlah diam-diam, aku merasa jejakku pun seperti diketahui kawan-kawan yang lain. Keberpihakkan ku pada Rayhan yang membuat teman-teman lain menangkap sinyal itu dengan mudah. Sialnya, Rayhan malah menjauhi aku, mungkin saat itu aku begitu menggebu agar aku bisa dekat dengannya. Sehingga membuat Rayhan jengah, geli, atau barangkali jijik. Tak tahulah, tapi itulah aku, kalau sudah menyukai seseorang tak sadar bila kelakuanku menjadi berlebihan, bahkan bisa mempermalukan diriku sendiri, aku tidak peduli. Seperti, ketika aku meminta Rayhan berada satu kelompok denganku, Rayhan mentah-mentah menolaknya, dengan alasan Ia merasa lebih nyaman berada satu kelompok dengan Rudi. Dan saat itu, Rudi pun sepertinya tertawa mengejekku.
Rayhan, sudah beberapa kali hadir dalam pertemuan di belakang kampus hijau. Mulai berdiskusi hal-hal ringan hingga diskusi yang paling berat. Di antara beberapa cewek yang dibawa Rudi hanya Dialah yang bertahan terus hingga diskusi selesai. Dia bahkan pernah hadir tanpa keberadaan Rudi, karena pada waktu itu Rudi mendapat tugas ke Sumatera Barat. Kegigihan dan komitmennya ikut membicarakan persoalan kemiskinan rakyat ternyata tak hanya sebatas memahami persoalan sosial di atas tugas mata kuliah dari kampus, sedang yang lainnya sudah tersingkir. Saat itu, karena berdiskusi hingga tengah malam, aku menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang. Mungkin karena Ia juga takut seorang diri di dalam angkutan umum, dengan sepeda motor bututku Ia pun rela duduk di boncengan. Naas bagi kami, waktu itu ada dua orang lelaki berbadan tegap mengikuti kami. Adu kecepatan sepeda motor pun terjadi, namun karena sepeda motor yang aku miliki sudah tua dan dipaksa lari kecepatan tinggi ia hampir oleng. Kami masuk ke dalam gang- gang sempit sehingga tidak terikuti oleh si pengejar, tapi sampai di situ sepeda motorku pun mati dan tak bisa dihidupkan kembali. Dalam perjalanan gelap, dengan menyorong sepeda motor hingga tiba di rumah kostnya, aku bisa menikmati kecemasan di wajahnya yang putih mulus. Ku pikir esoknya Ia tak hadir lagi dalam pertemuan, nyatanya ia semakin ketagihan.
Itulah awal pertama kali aku jatuh cinta padanya, meski tak pernah sekalipun aku utarakan, tapi aku yakin dan percaya, dia juga tahu akan perasaanku itu. Aku tidak peduli dengan perasaan Rudi padanya, karena aku tak menemukan ada hubungan yang spesial dari mereka berdua. Selama tak ada yang terganggu, maka perjuangan akan terus dilakukan.
Semangat berjuang untuk perubahan bagi Indonesia semakin tinggi, setinggi harapanku meraih cinta Rayhan. Diskusi yang kami lakukan di kampus kecil kami berlanjut dengan berkolaborasi dengan mahasiswa-mahasiswa dari kampus lain. Ada lima kampus yang ada di Medan yang tergabung dalam koordinasi kami, kami menyebutnya Forso Lima (Forum Solidaritas Lima Kampus). Aku, Rudi, dan Rayhan menjadi motornya perwakilan kampus kami untuk informasi-informasi dari hasil dan kesepakatan dalam rapat di Forso Lima.
Rapat di luar kampus bersama kawan-kawan Forso Lima membuat aku semakin dekat dengan Rayhan, karena Rudi sebagai ketua Senat Mahasiswa di kampus kami sering berhalangan hadir karena mengurus kegiatan civitas akademika. Aku sering menebar senyum untuk Rayhan saat Ia ku persilahkan duduk di sepeda motor bututku menuju tempat rapat. Dan senyum kemenangan ku pertunjukkan buat Rudi yang pernah menantangku dengan berkata, jika aku berhasil merebut hati Rayhan, Ia akan menaruh hormat padaku. Seribu senyum kuberikan kepada Rayhan, tapi dia tidak pernah membalasnya sekalipun. Wajahnya datar, dingin tanpa ekspresi, seperti perjuangan kami, yang kami lakukan diam-diam, senyap tanpa suara, meskipun tujuannya akan meledakkan bom waktu yang dahsyat. Tatapan dingin Rayhan bukan hanya buatku, tapi buat laki-laki manapun, begitu juga buat Rudi, karena itu masih besar peluangku buat dapatkan Rayhan.
Saat itu bulan Maret 1998, sudah Dua Minggu Rayhan tidak muncul dalam rapat, jangankan rapat, muncul di kampus pun tidak. Sekali aku datang mencarinya di tempat kost, khawatir dia sakit, ternyata kata teman satu kosnya dia pulang ke kampung halamannya di Siantar. Kesibukan rapat-rapat koordinasi bersama teman-teman membuat aku tak punya waktu mencarinya, meskipun hati penasaran untuk mendengar kabarnya.
Aku melihat tubuh mungil itu sudah tiba di Basecamp, ada yang berubah pada diri Rayhan. Cewek tomboy itu biasanya mengenakan kaos oblong lengkap dengan jaket rompi coklatnya yang manis berpadu dengan celana panjang dan kaos yang panjang pula. Kali ini Ia mengenakan jilbab, entah kapan Ia mulai berhijab, setelah sekian lama tidak bertemu dengannya. Hari ini Ia begitu manis, jilbab polos yang dikenakannya tanpa border, tanpa bros penghias, mengiringi langkahnya yang dinamis. Ia tetap manis dalam pandanganku, tapi apakah karena sudah lama Ia tak hadir di basecamp, sehingga hati ini berbinar melihat. Menyemangati hatiku yang terbakar dengan gejolak pemberontakan atas ketidakadilan dari pandangan umum masyarakat yang tidak berdaya.
Aku menatapnya lama, entah mengapa aku tidak bisa tidak mengagumi penampilannya yang kali ini aku lakukan dengan sembunyi sembunyi. Ia mungkin tak melihatku dan aku sengaja tak ingin memperlihatkan diri di hadapannya. Aku takut, perhatianku yang berlebihan membuat Ia kembali jengah padaku seperti kejadian tak enak waktu itu.
Sekali waktu Ia pernah protes dengan nada dingin karena aku menatapnya dari atas ke bawah tanpa berkedip.
“Kau seperti serigala yang menakutkan” ujar Rayhan.
“Karena kau begitu menggoda “, kalimat itu cepat aku jawab, persis seperti rayuanku pada para aktivis lain. Orang lain mungkin menganggapnya biasa, itu bentuk keakraban yang sering aku ciptakan pada aktivis cewek agar tidak kaku berada dalam satu wadah perjuangan yang sering menghabiskan waktu diskusi hingga larut malam. Tapi tidak untuk Rayhan, Aku sendiri tercekat oleh ucapanku sendiri. Sialnya yang kudapat bukan semu merah layaknya para gadis yang dirayu, Ia malah semakin sinis.