Hari itu, kami kedatangan para mahasiswa di pertemuan tertutup se- Indonesia . Sesuai dengan harapan, semua universitas terkemuka memiliki perwakilannya. Kami menyebutnya pertemuan ‘senyap namun bersayap’. Pertemuan yang dilakukan diam-diam untuk merancang agenda penting tapi berkelanjutan ke daerah-daerah lain dengan satu suara, lepas dari rezim. Pertemuan dilakukan di tempat yang jauh dari jangkauan masyarakat agar tidak terdeteksi oleh siapapun termasuk aparat. Dan saat itu, jangankan untuk merancang aksi, untuk sekedar berkumpul dan berdiskusi saja sudah dicurigai di rezim pengekangan demokrasi ini. Sebagai mahasiswa, pengekangan inilah yang paling dibenci, pengekangan inilah yang menjadi musuh, sebab itu kita harus berontak. Yah, kami menyatakan pemerintahan yang mengekang hak berpendapat bagi warga Negara adalah musuh bagi kami.
Pertemuan hari ini menghadirkan bang Rikwan Akhyar. Siapa yang tak mengenal lelaki yang pernah menjadi tahanan bersama kawan-kawan yang lain beberapa tahun lalu saat menjadi mahasiswa yang kena delik penghinaan terhadap kepala Negara, subversi. Saat Ia menjadi dosen, Ia pun kembali ditahan karena artikelnya yang mengkritisi kebijakan presiden. Setelah itu ia menghilang dan akhirnya memilih tinggal di luar negeri. Ia hadir untuk membakar semangat kami untuk sebuah perjuangan pada Negara. Berjuang memperbaiki kondisi Negara yang carut marut adalah jihad.
Aku kebagian memimpin lagu tanah juang. Lagu ini biasa kami kumandangkan untuk membakar semangat, berjuang dari ketertindasan. Foto-foto kasus penindasan rakyat tak lupa kami pamerkan, mulai dari persoalan konflik tanah yang tak pernah usai dan menyengsarakan rakyat, pemerintah yang tak pernah berpihak pada buruh dan justru berpihak pada cukong, banyaknya anak dan perempuan yang dilacurkan tanpa penyelesaian Negara, banyaknya anak-anak yang menjadi korban tanpa sempat dipikirkan apalagi dilindungi. Data-data itu aku paparkan pada pertemuan ini. Paparan fakta-fakta itu menghenyakkan dan membelalakkan mata para mahasiswa yang menjadi peserta. Kemudian kami berharap. Hal itu dapat menyadarkan bahwa pemerintahan ini tidak melakukan apa-apa kecuali hanya memikirkan tampuk jabatannya.
Lagu tanah juang, aku nyanyikan sekali lagi, dengan mengepalkan tangan kanan dan menyilangkan tangan kiri di dada sebelah kiri. Semua pun mengikuti dan meresapi lagu itu dengan keheningan suasana alam.
“Di sini…
Negri kami…
Tempat padi ditanam
Tanahnya subur makmur
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Anak muda tak sekolah
Pemuda desa tak kerja
Bunda relakan tanah juang kami
Padamu… kami mengabdi.