CINTA 3 REZIM

Rika Suartiningsih
Chapter #5

Melanjutkan Perjuangan

  Sejak pertemuan akhir yang menyakitkan itu, aku tidak pernah lagi menginjakkan kakiku ke Rumah Singgah milik Rayhan dan teman-temannya. Aku mencoba membunuh rasa kecewaku serta harapanku untuk mendapatkan Rayhan. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan dan akhirnya  aku berhasil melewati perasaan itu. Sekalipun menyakitkan aku tahu ini hanya sementara. Orang-orang bilang itu namanya patah hati. Dulu sebenarnya aku pernah patah hati, waktu itu masih di kampung, masih cinta monyet, suka sama cewek anaknya juragan padi. Aku bilang sama Emak waktu itu, kalau aku suka sama anak juragan itu. Saat itu Emak tertawa dan memprediksi kalau cintaku akan kandas di rerumputan. Kata Emak, mana mungkin si Lela suka sama aku, sama anak orang miskin, ke sekolah saja tak pernah pakai sepatu karena tak sanggup membeli. Saat  itu Emak pun  marah, apa pulak suka sukaan sama perempuan, tidak boleh karena aku masih sekolah. Tapi mana mungkin perasaan itu dibohongi. Akhirnya aku beranikan diri untuk mengungkapkan  kalau aku suka sama dia. Eh, ternyata, tanpa kuduga  Lela juga suka. Jadilah kami jalan bareng, namun  tidak lama, setelah itu si Lela juga jalan bareng dengan Johan, anak baru dari kota. Dasar ! . Akupun patah hati. Waktu itu aku marah, ingin rasanya meluapkan kemarahanku pada Lela, bahkan ingin menghajar Johan yang telah mengambil Lela dariku.  Tetapi itu hanya sehari saja, setelah  itu aku biasa biasa saja.

Patah hati saat ditinggal Lela, berbeda dengan patah hati saat ditolak Rayhan, sungguh, perasaan sakit kali ini berbeda. Atau mungkin karena aku masih memiliki harapan,  Rayhan sesungguhnya belum  menolakku, dia hanya menggantung perasaanku dengan mengatakan terlalu dini aku mengungkapkan perasaanku. “Itu, artinya, Ia masih butuh waktu lagi. Oke,  aku akan menunggu, tapi sampai kapan ?” ujar pikiranku berkecamuk.

Sebagai aktivis saat ini aku diuntungkan dengan situasi politik yang semakin memanas, aktivitasku sehari-hari membuat aku dapat melupakan Rayhan. Banyak persoalan yang menyita waktuku, dan aku dengar Rayhan juga sibuk menggalang gerakan mahasiswa untuk pemilu yang dilakukan langsung serta diawasi rakyat terutama mahasiswa.

 Unjuk rasa mahasiswa  kian memanas, Suharto telah mengundurkan diri tapi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme masih berlangsung.   Kami kembali ke konsentrasi awal untuk menjatuhkan rezim Soeharto dan kroni-kroninya, unjuk rasa ‘Tritura’ jilid dua. Tiga Tuntutan Rakyat, jatuhkan Soeharto dan kroni-kroninya , hapuskan korupsi kolusi dan nepotisme, KKN, dan hapuskan Dwi Fungsi ABRI.  Dalam rencana-rencana aksi itu, aku dan Rayhan masih sering bertemu, namun  kami tidak pernah lagi membicarakan perasaan, meski sesekali aku menikmati wajah ayunya.

Situasi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya semakin memanas, begitu juga dengan di Medan, banyak mahasiswa yang ditangkap. Dengan situasi seperti itu, aku tetap memantau dan mengontrol Rayhan dari kejauhan, aku harus memastikan bahwa Ia sehat-sehat saja setiap hari.

Pasca pengunduran Soeharto, situasi bukan semakin aman, situasi semakin terjepit bahkan memanas. Gerakan yang kami lakukan memang harus terus menghimpit pemerintahan agar segera melakukan sidang istimewa pasca mangkatnya Soeharto. Mahasiswa menuntut dilakukan pemilu yang jujur dan adil sesuai dengan keinginan rakyat Indonesia.

Dalam situasi rapat saat itu, aku melihat tatapan yang tidak biasa dari Rayhan kepadaku, seperti tatapan rindu. . Aku merasakan kerinduan dan mungkin Ia juga merindukan aku, aku bisa melihat dari tatapan matanya. kami sering bertemu, tapi tak sempat bercengkrama seperti waktu lalu.

“Kau baik-baik saja kan?” tanyaku dengan memberanikan diri menghampirinya. Rayhan diam, lalu menjawabnya dengan mengangguk.

“Ada apa ?” tanyaku lagi melihat tatapannya yang berbeda. Atau mungkin dia prihatin melihat penampilanku yang kucel, kurus dan jorok bahkan tak terurus, kulitku  semakin gelap karena kebanyakan di lapangan. Tapi kondisi Rayhan  juga sama, tambah kurus dari biasanya. .

“Jaga dirimu” ucap Rayhan tiba-tiba. Aku terperangah dengan ucapannya, sebuah perhatian yang tak biasa. Dulu, saat kami sedang baik baik saja dia pasti akan mengejekku dengan  mengatakan, apa kau lupa mandi, apa kau lupa bercukur, apa kau lupa makan ?.  Akh,  saat begini pun aku merindukan omelannya.

Ucapannya yang meminta aku untuk  menjaga diri, membuat aku resah.  Seandainya Ia kekasihku atau  istriku, Ia akan kudekap dan aku akan menyamankan perasaannya, bahwa aku dalam keadaan  baik baik saja.  Bahagia sekali mendapat perhatian darinya, tapi tersiksa dengan sikapnya.  Ternyata untuk bahagia tidak perlu ciuman, tidak  perlu juga pelukan, perhatiannya saja sudah cukup. “Ini sudah lebih dari cukup, bahwa sebenarnya kau juga mencintaiku” ujarku dalam hati. Untuk saat ini, biarlah begini, nanti, di saat waktu yang melelahkan ini usai, dan perjuangan kita telah tercapai, aku akan kembali menagih janji perasaan ini. Tak peduli jika kau menolaknya lagi.

Aku tersenyum menanggapi ucapannya, kemudian aku berkata, “Doakan, aku”

Hello..., kalimat itu aku pinta darinya. Minta sebuah doa, bukankah do’a itu adalah sebuah  permohonan kita kepada Tuhan, sedang  aku sampai saat ini  tidak percaya dan tidak tahu  dimana Tuhan.  

Persoalan tentang Tuhan sering sekali kami perdebatkan,   Aku bahkan pernah mengatakan padanya waktu itu, bahwa aku tak percaya ada Tuhan.  Saat itu,  aku melihat pancaran kemarahan di wajahnya. Kemudian dia menjelaskan, bahwa adanya aku dan kau bukti adanya Tuhan. Aku membantahnya dengan mengatakan, aku ada atas karena  pertemuan sel telur dan sperma, bersatu dalam rahim Emakku lalu  besar di sana kemudian pada masanya lahir.

“Darimana kau tahu, ada sel telur dan sperma itu bersarang dalam rahim ibumu, dan tunjukan padaku di mana sel telur yang perkasa di antara ribuan sperma yang berhasil dan menciptakan dirimu” ujarnya saat itu.

“ Lalu, siapa yang menciptakan sel telur dan sperma itu. Kalau begitu kau jadikan saja  sperma itu menjadi Tuhanmu, karena dari dia kau tercipta. Lalu,  pintalah yang ingin kau pinta dari sperma itu” lanjutnya seperti mengejek.

“Tuhan tidak kelihatan dimana, bagaimana  bisa,  kita  percaya dengan Dia, bagaimana kita bisa bermohon pada yang tidak kelihatan, tidak bisa menolong kita” ujarku.

Sampai disitu tampaknya Rayhan kehabisan kata kata, tak sanggup dia menjelaskan dan membantah ucapanku, tetapi  matanya menatap kepadaku dengan lekat, menunjukkan bahwa Ia tidak sepakat dengan ucapanku.

“Kau percaya adanya cinta, apa kau pernah melihatnya, tapi kau bisa merasakannya ? Bagaimana kau tahu itu cinta, bagaimana kau bisa percaya bahwa cinta itu ada sedang dia tidak terlihat. Jadi, sesuatu itu,  tidak harus terlihat  oleh mata” sambungnya lagi.  

Cinta, Rayhan menganalogikan adanya Tuhan  dengan cinta. Saat itu aku bertanya, apakah ini sinyal darinya, apa sesungguhnya Ia mencintaiku meskipun Ia tak mengucapkannya langsung  dengan kata kata, dan  kala itu,  aku yang terdiam oleh kalimat analoginya.

Persoalan Ketuhanan itulah yang sering membenturkan kami dalam perdebatan yang tidak berkesudahan. Tapi justru karena itu,  aku meyakini bahwa dia perempuan  yang cerdas. Meski sering Rayhan menjelaskan tentang keberadaan Tuhan, namun  sayang,  aku belum  juga menemukan jawaban yang memuaskanku atas keberadaan Tuhan.

“Jika kebenaran yang kau cari dengan  logikamu, namun logikamu sedang  marah, maka kau tak akan menemukannya. Jawaban itu ada pada hatimu, ketika kau ikhlas” ujarnya saat itu mengakhiri perdebatan tentang Tuhan.

*****

Melalui Netty aku mendapat  jawaban, mengapa Rayhan tidak mau menerima lamaranku. Menurut Netty, aku dan dia berbeda keyakinan. Dan bagiku, itu teramat rumit untuk menyatukan hati kami. Dia punya keyakinan akan Tuhan sementara aku tidak punya sama sekali keyakinan tentang Tuhan.

Kami bertemu pada suatu kesempatan unjuk rasa di DPRD Provinsi Sumatera Utara, di lapangan parkir bersama menyaksikan sidang istimewa yang kacau. Unjuk rasa dimana-mana, insiden yang tidak diinginkan pun terjadi. Sebuah insiden terjadi, saat itu aku berada di antara insiden tersebut. Entah mengapa, saat itu aparat keamanan menggunakan peluru untuk menghalau kami. Peluru-peluru itupun  mencari sasaran empuk di antara para aktivis dan aku salah satu diantaranya. Peluru itu menyesakan dadaku,  hingga aku terjengkang dan tidak bisa berbuat apa apa lagi. Semua menjadi gelap, nafasku tersenggal, dan akupun terjatuh bersama kucuran darahku menjadi saksi saat itu.

Bersyukur aku, entah siapa yang menyelamatkan aku waktu itu, kemudian  mengantarkan aku ke sebuah rumah sakit, mungkin  ada diantara kami yang telah mati.  Saat itu, semuanya terasa pitam, gelap, dan pengap, aku merasa seperti mau mati.  Entah mengapa, saat itu adalah saat  kematian. Aku pun tiba-tiba merasakan seperti ada Tuhan, yang bisa aku minta  pertolongannya. Dalam samar bayangan, aku melihat Emak sedang menangis, aku juga melihat Rayhan memeluk Emak seakan memberikan kekuatan.

“Tuhan, aku tak ingin mati sekarang” ujarku dalam hati,

Lihat selengkapnya