CINTA 3 REZIM

Rika Suartiningsih
Chapter #7

Fitnah

Jika pertemuan menghapuskan harapan, mungkin berpisah lebih baik, meskipun hati masih merindu. Jika pertemuan kembali  justru saling membenci, mungkin berpisah lebih baik , karena masih bisa menikmati perasaan cinta. Mengingat aku mencari dan menunggunya selama 10 tahun membuat aku merasa tolol dan sakit hati. Mengapa aku tidak buru-buru melupakannya saat kuketahui dia tak ada lagi. Dalam diam aku berharap, dia ada dan selamat, harapan itu yang membuat aku menjadi semangat, meski akhirnya sesakit ini.

Berulang kali Emak dan teman-temanku menyuruhku membunuh perasaanku buat Rayhan, membunuh perasaan yang berakibat menjadi  tolol tiada berkesudahan. Dan ketololan ini kini semakin nyata, saat aku tahu Rayhan tak menungguku, bahkan telah membunuhku dalam ingatannya.

Seperti saat ini, meski Rayhan telah menghapus namaku dalam ingatannya, namun ingatanku tentangnya tak mau pergi. Berulang kali teman-teman mengingatkan bahwa Rayhan telah berubah. Atau sebenarnya aku yang tak lagi sama, hingga kami menjadi makhluk yang saling asing.

Tidak!,  Rayhan yang berubah, pikirku. Aku masih seperti dulu,  bersama kawan kawan yang dulu ikut berjuang. Kami  tetap berjuang, dengan metode yang berbeda, terstruktur dan mendapatkan penghargaan berupa finansial yang dibayar dengan dollar, begitulah mestinya orang-orang menghargai sebuah perjuangan.

 Atau menurut Rayhan, aku dan kawan-kawan yang kini salah dalam menjalani garis perjuangan, sehingga kami dipandang salah, sebaliknya dengan egois kami menyatakan Rayhan yang tak menghargai nilai-nilai perjuangan. Aku menyakinkan lagi dalam hati dan pikiranku, kami tetap sama seperti dulu, berjuang untuk rakyat. Kami masih peduli dengan persoalan hidup masyarakat miskin, kami masih peduli dengan nasib anak-anak, kami membicarakan pemenuhan hak azasi. Atau mungkin Rayhan yang justru tidak  peduli dan tidak lagi  memikirkannya.

Aku membongkar semua isi tulisan-tulisan Rayhan  di media massa, yang ditulisnya dulu, Ia  sangat kritis. Mungkin, dia merasa  tempat kami yang berbeda,  ibarat nada yang tak lagi sama dalam mengiringi sebuah lagu. “Tetapi bukan berarti kita berbeda, Ray, hingga kita  harus saling membenci” pikirku.

Dan akupun  membongkar semua tulisan tulisan Rayhan yang ia tulis atas nama Fatimah. ‘10 Tahun  Reformasi Terasa Basi’, salah satu judul tulisan Fatimah. Aku membacanya, jelas tulisan itu mengkritik hasil reformasi yang kini banyak diisi oleh orang orang yang  mengaku reformis, yang dulu ikut menjatuhkan rezim, dan kini banyak duduk di kursi empuk, banyak yang menjabat di kursi legislatif, eksekutif bahkan berada di wilayah  yudikatif. Mereka adalah mantan pejuang-pejuang reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru, nyatanya, ketika mereka telah menjadi bagian dari sistem, mereka justru dininabobokan oleh dinginnya AC pada ruang-ruang kerja dan kenyamanan berkendaraan, sedang persoalan rakyat tetap saja menggurita, orang miskin bertambah, hutang bertambah, persoalan rakyat tetap sama.

Tulisan lain yang ditulis Fatimah, adalah tentang ‘KKN yang Membudaya’. Tulisan itu membahas bahwa KKN masih menggurita meskipun rezim telah berganti.  Menurut Rayhan, KKN yang dulu dijadikan semboyan untuk melengserkan Suharto, ternyata masih  tak bisa dihilangkan. Dalam orde reformasi KKN semakin merajalela dan  lebih gila gilaan. Jika dulu suap dilakukan di bawah meja, sekarang suap justru tak malu-malu  dilakukan di atas meja.

Fatimah juga menulis tentang sebuah tanya tentang wakil rakyat, dia menulisnya langsung dengan judul ‘Dimana Hatimu Wakil Rakyat’. Tulisan ini juga  mengkritik pejabat yang sibuk meminta kenaikan gaji, menambah fasilitas, hidup enak kurang enak, sibuk membangun infrastruktur, sedang rakyat semakin tertekan, kenaikan demi kenaikan bahan-bahan kebutuhan rakyat  terus terjadi. Kenaikan bahan pokok, kenaikan sumber kehidupan masyarakat dan kenaikan pajak, itu semua hanya untuk peningkatan hidup pejabat dan stafnya. Reformasi tidak menjawab keinginan rakyat untuk hidup lebih makmur tapi lebih parah dari masa penjajahan.

“Ray, jika kepedihan itu yang kau rasa dan menjadi pemutus kita, kau salah. Karena aku juga masih merasakan bahwa reformasi belum menjawab keseluruhan keinginan kita. Bahwa Reformasi masih membutuhkan kita untuk sama sama berjuang kembali. Benar aku telah berubah, tak lagi menjadi pembela jalanan. Tidak lagi miskin dan gembel. Tapi sekarang, aku akan berjuang melalui diplomasi. Sampai di situ, aku merasa bahwa sejatinya kita masih sama. Tapi kau hanya merasa telah kami tinggalkan, itu salah ! aku tetap Teddi yang dulu yang masih merindukan perubahan di negeri ini. Negeri yang damai, bukan hanya milik seorang Teddi,  dan tak cukup hanya dilakukan oleh seorang Teddy. Negeri ini tidak serta merta berubah begitu terjadi reformasi, meski begitu banyak korban, meski sudah begitu banyak rintangan, negeri ini butuh kita semua, butuh orang orang cerdas dan yang mau peduli, butuh orang orang yang ikhlas seperti kamu.  Kami memilih berjaringan ke luar negeri, karena negeri di sana menjanjikan pembelajaran bagaimana bersikap dalam demokrasi.  Terbukti, Undang Undang Pemilu perlahan mulai dibenahi. Demokrasi tak lagi setengah kamar, memilih wakil rakyat tidak lagi seperti  memilih kucing dalam karung. Rakyat sudah memilih wakilnya sendiri secara langsung. Perempuan sudah mendapatkan kesempatannya yang semakin luas. Sayang sekali, orang yang berpotensi seperti dirimu alergi untuk ikut di dalamnya. Kau terlanjur melihat kotoran di sana hingga kau enggan dan tak ingin dianggap sama seperti kotoran yang lain. Memang, di sana masih banyak penjilat, masih banyak koruptor, masih banyak pecundang, tapi bukan berarti kau bisa menuduh kami,  juga demikian” ujarku berkata-kata dalam imajinasi tanpa dapat didebat Rayhan, sebab Rayhan sudah merasa berbeda.

******

Pagi ini, aku sedang santai sarapan pagi di kantor, pukul 10.00 WIB nanti ada rapat dengan simpul jaringan untuk membahas peranan rakyat dalam Pemilu yang JURDIL, jujur dan adil. Tetiba, Maya menyodorkan surat kabar yang didalamnya ada  tulisan Rayhan masih dengan nama Fatimah. Aku tidak paham dan mengerti, mengapa Rayhan berganti identitas.  Tulisan yang masih hangat itu diberi judul,  ‘Negeri Yang Tergadai’

 Tak ada foto dirinya,  di sana yang bisa meringankan kerinduanku yang terselip jauh. Seperti biasanya, tulisan Rayhan pasti tentang kritikan, buatku dan buat kawan-kawan. Dari judul yang Ia tuliskan, aku menangkap tujuannya adalah reformasi yang gagal memberikan rasa keadilan.  Kali ini,  tulisannya memang ingin menyinggung kawan-kawan yang bekerja di NGO. Rayhan bahkan berani menulis bahwa NGO adalah agen-agen asing yang justru merusak kedaulatan rakyat, yang menjual data kemiskinan negeri ini, yang menjual program namun sejujurnya untuk melakukan propaganda yang menguntungkan pelakunya.

Sebenarnya aku ingin sekali menelpon Rayhan, ingin mengingatkan bahwa kali ini dia salah telah membuat kesimpulan sendiri tanpa melakukan analisis. Kau persis seperti Jonru, yang mencari ketenaran di dunia maya dengan tulisan tulisannya yang dangkal tanpa sumber literasi yang jelas.

Untuk sesaat aku jengkel dan terpancing emosi dengan tulisan Rayhan, namun itu segera terabaikan karena aku harus  buru-buru mengikuti  penting yang sudah diagendakan, rapat yang kuanggap penting untuk masa depan karena ini berkaitan dengan pemilihan presiden.

Menurutku, pemilihan presiden kali ini begitu mempesona, aduhai dan sekaligus terberat, menyangkut kehidupan berbangsa  kedepannya. Begitulah, mau tak mau aku pun harus berkecimpung dalam politik meskipun bukan politik praktis yang menghantarku dalam partai. Dan aku kini ikut menjadi ahli strategi pemenangan calon presiden. Strategi ini lebih baik untuk menjalankan misi misi kami selama ini. Melalui ini, Janji janji politik lebih konkrit bisa dilaksanakan. Di antara janji politik yang harus diperjuangkan adalah persoalan lingkungan hidup, kebijakan kehutanan, termasuk di dalamnya pembatasan pemberian HPH, yang selama ini menjadi hantu dan penyebab kerusakan hutan Indonesia,  pembagian pada tanah ulayat, penyelamatan suku asli, perlindungan anak dan perempuan. Jika sudah demikian, kekuasaan harus kami rebut.

“Rayhan, aku akan buktikan, bahwa aku tetap Teddi yang dulu, yang dulu sempat engkau kagumi yang hati dan pikirannya  tetap berjuang untuk rakyat Indonesia. Aku juga akan  berjuang untuk mengembalikan kepercayaanmu pada seorang aktivis 98 ini, bahwa aku tetap pejuang” ujarku bertekad dalam hati.

“Rayhan seorang intelijen, Teddi, kau harus percaya, dan kau harus menjauh darinya” ujar Rudi tiba-tiba menghampiriku.  Rudi yang bicara dengan suara lantang, membuyarkan lamunanku. Entah mengapa, berulang kali Rudi menyampaikan informasi itu, tapi aku  selalu menepisnya . Aku tidak   percaya,  dan memastikan pada Rudi bahwa aku takkan pernah percaya.

Tapi kali ini, Rudi memberikan sejumlah dokumen yang membuat aku menjadi ragu-ragu dengan semua ini, antara percaya dan tidak. Untuk informasi ini, Rudi  pun harus membayar informan. Pada awalnya, Rudi pun tidak percaya, tapi  informasi yang didapat Rayhan untuk sejumlah data yang dimuat di Media massa, bukanlah sekedar pengetahuan seorang jurnalis, Lewat tulisannya, Rayhan mengungkapkan sejumlah nama NGO dan Negara-negara yang memberikan funding atas kegiatan yang dilakukan NGO di Indonesia. Sejumlah persoalan kemiskinan Indonesia yang dibahas di hotel mewah. Dalam analisisnya,  Rayhan menyatakan bahwa Negeri ini sudah tergadai,  dan tukang gadainya adalah orang Indonesia sendiri yang tidak sadar dan bahkan dengan kesadarannya membabi buta menjual anak negeri. Para NGO merubah dan menggerogoti pikiran anak muda atas nama demokrasi. Demokrasi yang menurutnya tidak pantas diungkapkan penghianat Negeri.

Aku panas dengan artikel Fatimah yang dimuat dalam web, tulisan itu  itu membuat aku marah. Pikirannya begitu  kerdil, dalam pikirannya yang kerdil itu, dia ingin membakar pikiran masyarakat agar memusuhi gerakan NGO, gerakan yang ingin membuat perubahan di Indonesia. “Hello, nyatanya, kau belum tamat Rayhan, kau hanya Aktivis 98  karbitan yang tak paham tujuan akhir dari perjuangan” pikirku.

Aku ingin sekali menemui Rayhan saat ini, aku ingin   membukakan fakta-fakta perjuangan yang kami lakukan saat ini. Aku ingin, Rayhan menjadi  melek  dan paham serta tidak  tertidur hanya karena api dendamnya  semata.

*****

Aku kembali membaca data-data Rayhan,  yang diberikan Rudi padaku.

Nama : Rayhana, asal Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, masuk menjadi anggota TNI sejak tahun 1991. Itu artinya, kau sudah menjadi anggota setelah tamat bangku SMA. Dan itu artinya, Ia sudah menjadi intelijen  sejak bergabung dalam gerakan mahasiswa sebelum reformasi. Itu sebabnya, setiap kali ada pertemuan, selalu saja terdeteksi oleh aparat. “Waw, hebat sekali penyamaranmu,  dan aku tertipu !” pekikku dalam hati.

Hari ini,  aku kembali ke Medan. Keberangkatanku, bukan hanya ingin mengisi program yang sudah diagendakan bersama NGO lokal yang sudah menerima kesepakatan, tujuanku sekaligus ingin bertemu Rayhan, kemudian aku akan melampiaskan kebencian yang sudah membuncah ini. Wajah polos itu mentah mentah telah menipuku. Kali ini, aku tidak menuntut cintanya yang palsu, hari ini aku ingin menelanjangi kebohongannya.

Dan aku memang benar-benar tak sabar untuk bertemu dengan Rayhan. Tidak  sampai setengah hari melakukan koordinasi dengan NGO lokal untuk kesiapan mereka melaksanakan program, sore harinya aku sudah ngelayap menemui Rayhan di tempat kerjanya.

Awalnya Rayhan menolak untuk bertemu, melalui Satpam dia masih harus mengikuti rapat proyeksi sore hari, dan ada seabrek pekerjaan yang harus selesai, karena  mengejar deadline untuk penerbitan besok.  Aku tidak peduli dengan alasannya, aku bertekad untuk menunggunya, dengan izin Satpam, aku pun diperbolehkan menunggu hingga Rayhan selesai bekerja.

“Bukankah, urusan kita sudah selesai, Teddi “ ujar Rayhan tiba-tiba mendekatiku.

Lihat selengkapnya