CINTA 3 REZIM

Rika Suartiningsih
Chapter #8

Menata Pecahan Hati

Setelah sekian lama berkomunikasi dengan Rayhan melalui media sosial, akhirnya aku memberanikan diri untuk bertemu secara langsung, kukirim janji lewat pesan messenger media sosialnya. Beberapa kali dia menolak, bahkan mengabaikan pesanku, yang kukirim berulang kali, pagi, siang dan malam. Akh, seperti jadwal minum obat aku mengemis dan  memohon  untuk dapat bertemu, hingga suatu malam pukul 01.00 dini hari, kau membalas messenger ku dengan satu kalimat. “Oke...!”.

Ray,  hari ini kita janji untuk berjumpa, setelah aku merasa yakin untuk kembali bertemu denganmu, meskipun pandanganmu terhadapku tidak seperti dulu Kali ini aku memintamu untuk bertemu tidak dengan paksaan seperti pertemuan sebelumnya, tapi ini adalah pertemuan setelah tiga  tahun sejak pertengkaran kita. Menurutku, ini adalah hari spesial bagiku, meski aku tak yakin spesial juga buatmu. Aku tidak tahu, apakah hari ini aku bisa berhasil menguasai dirimu dan berharap kau bisa  menerimaku meskipun hanya  sebagai seorang teman atau mungkin sahabat, sebab sudah belasan tahun kita saling mengenal.

Akh, aku menggelengkan kepalaku berkali-kali, aku tak ingin masuk dalam jebakan cinta lagi, tapi entah mengapa hati ini masih berharap. Aku menyakinkan hatiku, jika Rayhan masih memiliki sikap dan pandangan yang sama tentangku, aku harus berani mengambil kesimpulan bahwa pertemuan hari ini mungkin pertemuan terakhir dengannya. Dan setelah itu, aku harus berani mengakhiri masa lajangku yang telah aku lewati dengan sia sia karena menunggunya, sebab Rayhan juga harus begitu, karena usianya juga sudah tidak muda lagi. Aku harus membahagiakan Emak yang mulai menua, berharap di akhir hidupnya dapat menimang cucu, maka harapan itu harus aku wujudkan dengan terlebih dahulu memberikannya menantu.

Hari ini, adalah hari dimana aku harus bertemu Rayhan, aku harus meluangkan waktu khusus untuk itu, meski sesungguhnya hari ini jadwalku  untuk membawa Ibu ke Jakarta untuk sebuah hajatan besar yang sebenarnya telah lama dinantikan ibu. Aku memutuskan untuk menikah dengan Maya.

Maya, perempuan yang setia menjaga perasaannya hanya untukku. Aku memilih Ia menjadi pendamping hidupku, meski aku tidak juga berhasil menata hatiku untuknya. Maya berani dengan komitmen ini, komitmen yang sebenarnya memiliki resiko sangat besar untuk bangunan besar pula. Komitmen ini terbangun karena Emak, tujuannya adalah membahagiakan Emak, mewujudkan harapan Emak, yang setiap hari Emak sampaikan, saat aku menelponnya.

“Teddy....!, cepatlah segera menikah, mamak nggak tau sampai kapan mamak menunggu !” ujar Emak, berulang kali jika menelepon.

“Iya, mak, santai, kelar kerjaan bulan depan aku janji mengenalkan calon menantu sama Emar, sabar...!” ujarku selalu dari waktu ke waktu. Aku tak juga bisa menempati janjiku sama Emak, sebab penantianku akan Rayhan. Kini, aku sudah menemukan Rayhan kembali, dan kini aku tahu, tak mungkin aku merajut mahligai rumah tangga bersama Rayhan, sebab Rayhan mengaku tak punya rasa cinta lagi buatku.

   Usai perhelatan pemilihan presiden yang melelahkan, aku harus memenuhi janjiku pada Emak. Tidak  ada waktu lagi untuk memilih dan mencari, sebab waktu begitu cepat berputar dengan pekerjaan yang melelahkan, dan perasaan yang terus menerus memikirkan Rayhan. Satu-satunya perempuan yang berinteraksi denganku adalah Maya, administrator kantor yang sejak dulu berjuang bersama, tetap memberikan perhatian, meskipun dia tahu di hatiku hanya ada Rayhan. Aku nggak tau, apa itu yang namanya cinta buta, seperti rasa cintaku pada Rayhan. Mungkin Maya bahagia jika melihatku bahagia,  sebahagia hatiku melihat Rayhan baik-baik saja.

Maya, cantik, tinggi semampai dengan kulit kuning langsat. Dengan rambut sebahu Maya selalu dandan dengan gaya modis.  Entah mengapa hatinya tetap tertuju padaku, padahal banyak laki-laki yang menaruh hati padanya, bahkan memberikan perhatian khusus, teman kantor, temen aktivis bahkan relasi-relasi lembaga kami. Tapi menjadi rahasia umum pula bawah hatinya hanya buatku, sehingga laki-laki yang mendekat perlahan-lahan menjauh.

Presiden yang kami gandang-gandang akhirnya menang, sebagai hadiahnya aku diangkat menjadi staf ahli tentunya. Jabatan penting yang kumiliki dengan honor yang cukup buat melanjutkan hidup dengan beristri dan mengembangkan keturunan, membuat aku harus berpikir mengakhiri masa lajangku.   Aku juga harus berani melangkah dan melupakan masa lalu dan menguburnya bersama rasa sakit, agar aku tidak terbelenggu dengan  masa lalu.

Dan Maya adalah perempuan yang dengan sukarela mau berkorban untuk itu, memberikan kesempatan buatku untuk menata hatiku yang telah hancur berkeping-keping. Jangan katanya  Maya  adalah perempuan yang aku korbankan untuk menutupi kekuranganku untuk meneruskan cita-cita hidup.  Sesungguhnya, Maya adalah perempuan yang sebenarnya telah lama mengabdikan hidupnya untukku, sejak masa perjuangan dulu. Aku mempercayakan banyak hal pada Maya, tidak hanya urusan kantorku tetapi juga untuk urusan pribadiku. Bahkan untuk perasaanku yang telah lama dipenuhi jatuh bangun bersama Rayhan.

“Maafkan aku May, aku memang belum bisa mencintaimu seperti aku mencintai Rayhan. Tapi percayalah, aku akan menata hatiku buatmu, dan pasti akan melupakan Rayhan” ujarku saat itu, saat aku mengajaknya menikah dan mengakhiri masa lajang demi masa depan.  Ajakan menikah dengan Maya, spesial aku lakukan di tempat romantis dengan cincin yang sudah disediakan Emak buat menantunya. Maya diam saat itu, di remang cahaya lilin, kulihat matanya berkaca-kaca namun menyiratkan rasa bahagia. Penantian panjangnya buatku, berakhir dengan harapan memilikiku.  

 Pernikahan  dengan Maya adalah sebuah solusi yang kami buat bersama atas desakan Emakku, dan desakan orang tua Maya yang juga menantikan anaknya segera menikah. Desakan juga datang dari kawan-kawan seperjuangan yang katanya sudah bosan melihat temannya jomblo. Maya adalah sahabat terbaikku, dan pasti dia akan menjadi istri terbaik buatku dan pasti akan menjadi ibu terbaik buat anak-anakku.  

Maya adalah  perempuan tegar yang berani menerima tantangan seberat ini, mungkin karena rasa cintanya yang begitu besar padaku. Aku sampai menangis saat mengambil keputusan ini, hatiku berkata, tidak seharusnya juga aku mengorbankan Maya. Mungkin Maya bisa bahagia jika menikah dengan orang lain, masih  ada Ridwan yang sekarang sudah duda dan pada masa lalu sangat mengharapkan Maya. Ada juga Kartolo,  yang dahulu pernah dijodohkan orang tuanya dan tetap menunggu Maya tanpa kepastian.

“Teddi, aku menerima tawaranmu, tawaran itu selain membahagiakanku pastinya juga membahagiakan kedua orang tuaku dan Emakmu. Kau jangan khawatir, bukankah aku perempuan yang terbiasa dengan perasaan ini,  perasaan yang tidak pernah punya tepat di hatimu meskipun aku berada dekat denganmu” ujarnya, semakin membuat aku merasa bersalah.

“Aku tidak mau berjanji, May, tapi aku akan membahagiakanku, membahagiakan keluarga kita.  Aku harus berani melangkah keluar dari sangkar dan jauh dari bayang- bayang Rayhana” ujarku sembari menggenggam jemari tangan Maya.

Dalam hati aku masih bertanya, apakah aku bisa melupakan Rayhan. Sedang saat ini saja aku masih berani menjumpainya. Entah apalah yang ada pada hatiku sebenarnya. Apakah aku benar-benar ingin melupakannya, sehingga aku ingin menyatakan bahwa hari ini merupakan pertemuan dengan Rayhan yang terakhir ?.  Aku hampir tak mampu menyatakan, ‘Ya’, sebab hari ini saja aku seperti kembali tergoda olehnya.

Hari ini aku memang melihat dirinya berbeda, aku seperti melihat tampilan Rayhan seperti tampilan 20 tahun yang lalu,  saat kami sama sama menjadi aktivis di belakang kampus, tampilan yang estetik dengan gaya energik dan penuh ambisius.

“Maaf, aku terlambat”  ujarku, merasa bersalah melihat Rayhan sudah menungguku. Dia menanggapinya dengan dingin, diam tanpa senyum.

Kemudian, Rayhan  memanggil pelayan dan memesan minuman untuknya. Ini adalah cara dia, agar tak merasa terganggu oleh tatapanku yang terpukau olehnya.

“Mau, pesan apa ?” tanyanya.  Ia menyadarkanku dari lamunan, yang entah sudah jauh kemana-mana. Aku semakin tidak bisa berkonsentrasi  dekat dengannya, tapi mengapa aku berani memutuskan untuk bertemu dengannya hari ini,  bila nyatanya aku tidak sanggup menghilangkan perasaanku terhadapnya.

“Maaf, apa sudah menunggu lama ?” tanyanya lagi, sebagai bentuk basa-basi untuk menghilangkan ketegangan hatiku.

“Tidak, baru sekitar lima belas menit” ujarnya dengan mimik wajah biasa-biasa aja.

Menunggu datangnya minuman yang kami pesan, kami masih saling diam, dan kulihat wajah kebingungan Rayhan sejenak atas keterdiamanku. Rayhan  pura-pura menyibukan diri dengan membongkar isi dalam tasnya, Ia mengambil handphone dan menelpon seseorang.

“Dek, kakak agak terlambat, ya, tolong kau cek lagi  berita yang sudah  masuk. Satukan dalam file, sebentar lagi kakak balik ke kantor” ujar Rayhan menelepon seseorang. Sepertinya dia menelepon teman sekantornya.

Aku masih terdiam, aku hanya menikmati hal yang dilakukan Rayhan hari ini. Aku pun tidak tahu apa yang harus aku bicarakan padanya, padahal aku sudah mengumpulkan keberanian untuk memberi kabar bahwa aku akan menikah, tapi bibir ini masih terkatup tanpa bisa berkata-kata.

“Okey, apa yang ingin dibicarakan padaku ?” tanya Rayhan,  tampaknya dia pun sudah tak nyaman dengan kebisuan ini, sementara pekerjaannya menanti di kantor.

“Aku, aku, banyak membaca artikel artikelmu” ujarku sekenanya, karena nggak tahu harus memulai darimana. 

Rayhan menatapku dan menunggu kalimatku. Tampaknya ia tidak terkejut.

“Adakah yang salah dengan tulisanku, sehingga jauh jauh kamu datang dari Jakarta untuk membahasnya ?” tanyanya yang membuat aku menjadi malu.

“Aku ingin mengklarifikasi salah satu tulisanmu, tentang NGO” ujarku akhirnya memilih topik tentang tulisan NGO yang menurutnya NGO adalah antek-antek yang membantu menghancurkan negara.

“Maaf, tulisan itu bukan ditujukan kepada bapak, tetapi pada semua orang, jadi bapak nggak perlu mengklarifikasinya” ujar Rayhan.

“Tapi,  aku sangat tersinggung dengan tulisan itu” ujarku lagi.

“Kalau begitu, bapak klarifikasi saja  dengan tulisan, kirim ke media. Atau somasi aja, biar orang-orang tahu, pejuang dan penggiat kebebasan tersinggung dengan tulisan tentang kebebasan” ujarnya menyindir.

“Aku dan kau berteman, Ray. Beginilah seharusnya,  cara teman menyelesaikan masalah, bukan menyelesaikannya di meja hijau” ujarku lagi.

“Kalau begitu,  ya, sudah, katakan apa yang salah dari tulisan itu“ ujarnya.

“Kalimatmu, itu,  terlalu tendensius terhadap orang-orang pergerakan yang kini sudah berada di posisi kebijakan” ujarku.

“Okh, ya, kalau begitu, selamat atas kemenangan kalian ”  jawab Rayhan cepat, seolah Ia baru tersadar bahwa Ia sekarang bukan berhadapan dengan Teddy yang dulu, si Teddy gembel yang hanya bisa merancang rencana kebebasan. Si Teddy yang ada di hadapannya saat ini adalah seorang staf ahli dari petinggi di negeri ini. Rayhan pasti sudah mendapat kabar kalau aku adalah salah satu staf kepresidenan, yang akan membantu merumuskan kebijakan untuk rakyat.

“Begitulah, cara kami, sebagai orang bawahan  mengkritik pemerintahan. Mungkin bapak menganggap cara kami mengkritik masih tetap konyol, di jalan atau lewat tulisan. Kami tidak tahu, dimana wakil kami yang kini duduk di parlemen, bahkan yang ada di eksekutif, atau staf kepresidenan yang ikut membantu merumuskan kebijakan. Kami akan terus bertanya dan mengkritik, karena  mereka tidak  lagi bersuara, walaupun bersuara masih terasa sumbang, dan  hanya sebatas lips service,  untuk kesenangan  sesaat, dan itu hanya suara kosong” beber Rayhan yang memancing emosiku. Tapi aku tidak terpancing, dengan suara pelan nan lembut, aku mengajak Rayhan bergabung dengan kami untuk meneruskan perjuangan.

“Kalau begitu, bersuaralah dalam tatanan kebijakan. Kami membutuhkan orang-orang sepertimu” ujarku.

“Bersamamu ?” tanya  Rayhan dengan nada serius. Entah apa maksudnya, tapi aku pun menjawabnya dengan cepat pula.

Lihat selengkapnya