Situasi di negeri ini kian memanas, tidak saja di ibu kota yang tengah mempersiapkan pesta demokrasi untuk pemilihan kepala daerah, gubernur maupun Walikota dan Bupati. Bagi pemerintahan pusat, pemilihan kepala pemerintahan di daerah sama pentingnya untuk pemilihan presiden kelak. Kami pun memasang sejumlah strategi agar kemenangan di daerah bisa mewujudkan impian. Kontrak politik sudah harus dilancarkan, bahkan menempatkan orang-orang yang bisa memenangkan pemilihan di daerah. Tak terelakan lagi, cara-cara halus akan selalu digunakan dengan menyisipkan orang-orang sebagai penyelenggara pemilu.
Kesibukan ini terkadang mengabaikanku dengan urusan rumah tanggaku sendiri. Setelah 2 tahun tidak juga mendapat momongan, akhirnya aku mendengar kabar kalau Maya tengah hamil. Kabar ini bukan aku dapatkan dari maya, tapi justru aku dapat dari dokter pribadi kami.
“Kenapa tak mengabari aku ?” tanyaku pada Maya. Waktu itu aku sedang berada di luar kota untuk melancarkan target pemenangan PILKADA di berbagai daerah, sehingga aku menanyakannya lewat telepon.
“Sorry, Teddy, aku lihat kau begitu sibuk, sehingga untuk mengatakannya pun aku tak berani, takut mengganggu kesibukanmu” ujar Maya diujung gawainya.
“Akh, Maya..” ujarku dalam hati sembari menghela nafas yang teramat berat. Maya, istriku itu selalu saja memahami aku, dulu hingga sekarang. Meskipun kami saat ini sudah suami istri, dia tetap memberikan ruang kebebasan untukku, ruang privasi untuk urusan-urusan pekerjaan maupun urusan pribadiku.
“Maafkan, aku, Maya, jika aku tidak memberikan perhatian khusus buatmu karena kesibukanku. Tapi, kau tahu, aku sangat bahagia mendengarkan kabar ini, sangat bahagia” ujarku. Bahagia ini bahkan membuat aku meneteskan air mata. Untung saja, Maya tidak ada di depanku, kalau dia ada, aku pasti malu karenanya. Sebab, aku adalah lelaki sombong yang sok tegar jika berada di hadapan Maya.
Maya pasti sangat gembira, membayangkan ternyata kami masih bisa memiliki anak dalam usia yang tak lagi muda. Maya yang sudah berusia 38 tahun, dan aku yang sudah berusia 42 tahun, ini adalah rezeki dari Tuhan yang menyadarkanku bahwa Maya, adalah perempuan penting dalam hidupku. Kami harus menjaga amanah dari Tuhan itu, menjaganya bukan hanya dengan mempersiapkan materi tetapi jika harus menyiapkan kasih sayang penuh dari kedua orang-tuanya.
Untuk merayakan kegembiraan ini, aku akan membuat kejutan buat Maya. Aku mempercepat kepulanganku dari jadwal yang sudah direncanakan Dalam perjalanan aku mereka-reka, kira-kira apa yang bisa membuat Maya senang. Dalam teori teori yang pernah aku baca, membahagiakan ibu sepanjang masa kehamilannya, akan membuat janin seorang anak menjadi sehat serta kelahiran yang sempurna. Bahkan si anak akan menjadi anak yang cerdas.
“Wow, anak yang cerdas, semua ayah yang ada di dunia ini pasti menginginkan anak yang cerdas, begitu juga dengan aku” pikirku dalam hati.
Dalam perjalanan pulang, pun aku masih membayangkan, bagaimana anakku nanti, pasti lucu, akan cantik dan cerdas seperti ibunya tapi akan berwibawa seperti bapaknya. Tidak pernah aku senorak ini, entah perasaan apa ini, tapi aku benar-benar bahagia.. Perjalanan pulang kali ini, terasa lambat, aku terus melambungkan lamunanku, orang bilang mungkin khayalan tingkat tinggi. Usia kandungan Maya masih memasuki bulan ke-empat tapi aku sudah bertanya-tanya, kira-kira wajah anakku nanti mirip siapa.
“Ah, tidak-tidak, jangan mirip Bapaknya, biar mirip ibunya saja, cantik, kulitnya juga bersih. . Di era milenial saat ini, penampilan juga sangat penting “ ujarku dalam hati. Kacau sekali pikiranku saat ini, ini mungkin kebahagiaan yang aku lupa selama ini, kebahagiaan dari membina sebuah rumah tangga. Masih mendengar kabar kehamilan Maya saja aku begitu bahagianya., bagaimana nanti jika anakku sudah lahir.
Sebelum sampai ke rumah, aku meminta Ramadhan, asisten pribadiku, untuk menemuiku di sebuah hotel. Aku ingin Ramadhan menyiapkan keperluan calon bayiku dan hadiah istimewa untuk istriku. Maklum, aku belum pernah membeli sesuatu yang istimewa, apalagi yang romantis buat Maya. Karena cukup dengan kalimat mesra saja Maya begitu sumringah bahagianya. Bagi Maya, tak penting sebuah hadiah yang terpenting adalah aku masih disisinya.
Tetapi sebelum aku turun dari mobilku, Tak jauh dari tempatku aku melihat Maya turun dengan seorang pria. Dan pria itu amat sangat aku kenal, dia adalah Rudi. Mereka memang terbiasa jalan bersama, tetapi perlakuan istimewa itu rasanya tidak biasa aku lihat. Ia membukakan pintu untuk Maya dan menggandengnya dengan mesra. Dan keduanya tampak bahagia, bercanda sepanjang perjalanan saat memasuki lobi hotel. Dan sepertinya mereka terbiasa masuk melalui lift hotel itu, hingga mereka tak perlu bertanya pada resepsionis.
Meski dadaku bergemuruh dan terasa panas, aku mengikuti langkah mereka, dan berharap tidak terjadi apa-apa, bisa saja mereka mengadakan pertemuan dengan rekan lain dalam sebuah seminar atau apalah yang tidak aku ketahui. Tapi tidak, mereka bukan masuk dalam ruang pertemuan, tetapi pada sebuah kamar yang tertutup.
Aku terperangah, terdiam tak berdaya, sekujur tubuhku dibasahi keringat dingin, kaki lemas tak bertenaga. Aku baru tersadar ketika Ramadhan meneleponku bahwa Ia sudah berada di hotel yang sudah kuberikan alamatnya.
“Bang, aku sudah di hotel” ujar Ramadhan.
“Terima kasih, dan tolong kau menunggu di kamar 565, sampai pintu itu terbuka” ujarku memberi pengarahan. Di kamar itulah Maya dan Rudi masuk dan menutup pintunya, dan itu kusaksikan langsung dengan mata kepalaku sendiri. Istriku dan sahabatku berada dalam satu kamar hotel, entah mau berbuat apa.
“Maksudnya, bang?” tanya Ramadhan tak paham atas pengarahanku.
“Tunggu saja di depan pintu kamar hotel nomor 565” ujarku lagi menegaskan, lalu aku mematikan selulerku.
Aku berharap Ramadhan bisa tahu yang aku maksudkan, sehingga dia akan bertemu Maya dan Rudi di sana, biarlah Ramadhan mengetahui cerita tentang pengkhianatan Maya dan Teddy terhadapku, biarlah Ramadhan juga ikut menjadi saksi.
Maya duduk di depanku dengan tubuh tampak gelisah. Dan aku tak butuh penjelasan, mengapa dia gelisah dan merasa bersalah. Aku tahu, perubahannya pasti karena telah berpapasan langsung dengan Ramadhan saat keluar dari kamar hotel. Aku tahu, Ramadhan pasti menunggu di depan kamar hotel itu, pasti, karena dia adalah orang yang amanah dalam menjalankan sebuah tugas, apa pun itu. Suatu hari aku pernah meminta Ramdhan menyerahkan, bingkisan buat Emak, aku berpesan, bingkisan itu harus langsung diterima Emak, ternyata Emak sedang di rumah kakaknya yang ada di Siantar, sebab beliau merasa kesepian sendirian karena aku tinggal di Jakarta.
Ramadhan yang minta cuti selama seminggu, menghabiskan waktu terus menerus menunggu Emak, karena tidak mau bingkisan itu jatuh ke-tangan orang lain, padahal bingkisan itu hanya sebuah bakal baju. Begitulah, Ramadhan selalu amanah menjalankan tugasnya, karena itu aku sangat percaya padanya, aku juga yakin Ramdhan pasti menunggu di depan kamar itu sampai Maya dan Rudi keluar dari kamar.
Malam itu, Maya pasti tidak menduga jika aku dan Ramadhan pulang lebih cepat dari jadwal, karena Maya tahu persis kemana saja langkahku, Ia adalah istri merangkap sekretaris pribadi yang selalu siap melayani keperluanku, berapa hari aku ke luar kota termasuk bila aku mendadak minta digantikan jadwal pesawat. Jelas, Ia tak mengira hari ini aku pulang dan akan memberikan surprise buatnya tetapi ternyata aku yang terkejut dibuatnya.
Maya masih menundukkan kepalanya, sepanjang aku mengenalnya, tak pernah aku melihat Ia seperti seorang pesakitan seperti saat ini. Tiba-tiba aku seperti jijik melihatnya, anganku menerawang jauh, saat mendengar kabar bahwa Maya hamil.
“Pak Teddy, selamat ya, istri bapak hamil. Untuk usia yang tidak muda lagi, sebaiknya kandungan harus dijaga, dan perhatian dari suami dan calon bapak akan lebih baik dari yang lainnya” ucap Rommy, dokter pribadi Maya yang kini menjadi dokter pribadi kami.
Aku lupa, entah sudah berapa lama aku tidak menggaulinya, dan karena bahagianya, aku lupa pula bertanya pada dr. Rommy, berapa usia kandungan Maya. Begitu mengetahui kebersamaan Maya bersama Rudi di hotel, aku pun akhirnya mencari tahu berapa usia kandungan Maya, agar aku dapat menerka-nerka, siapa sebenarnya ayah si calon bayi yang ada di perut Maya. Aku terhempas, mendengar kabar, usia kandungan Maya menginjak minggu ke 10, artinya dua bulan setengah menuju tiga bulan. Sementara seingatku, aku tidak sempat menggauli Maya lebih dari tiga bulan karena kesibukanku.
“Maafkan aku, Teddi ”, akhirnya Maya mengeluarkan suara paraunya, tapi aku merasa itu hanya kalimat basa-basi, aku tak menemukan nada penyesalan. Aku juga tidak menemukan wajah penyesalan karena semua itu terjadi sebab dia tengah khilaf.
“Untuk apa ?” tanyaku akhirnya. Hatiku hampa, rasa bahagia mendapatkan kabar bahwa aku akan menjadi bapak, kini digantikan dengan rasa benci yang begitu dalam,
“Sejak kapan ?” tanyaku.