Seseorang pasti membisikkan hasutan di telinganya, hingga Sandra meninggalkanku sendiri, dengan tolol menunggu kedatangannya sampai jam kerja KUA Taman Tani tutup pada pukul sembilan malam sementara dia tidak datang. Tingkat kenaikan pasangan yang menikah bulan ini meningkat tajam membuat KUA memperpanjang jam kerja jelang libur bersama akhir tahun.
Tanganku merogoh ponsel di saku kemeja dengan jas hitam baru yang kuambil kemarin menggantung lemah di pundak kananku, aku menahan rasa geram. Kutekan nomor ponselnya, tersambung, berdering tapi Sandra tidak mengangkatnya. Bayangan indah malam pertama yang sudah kurencanakan malam ini pupus bersamaan dengan embusan angin yang bertiup membawa pergi daun-daun kering di depan KUA. Hampir saja aku menitikkan air mata kekecewaan saat kudengar suara tangisan lain di tempat yang sama. Spontan, kepalaku menoleh. Seorang wanita bersanggul dengan satu bunga ceplok menempel di dekat telinga kirinya menangis tersedu. Tangannya meremas saputangan berwarna jingga di pangkuannya.
Dia juga dicampakkan, sepertinya. Entah kenapa aku seperti mendapat hiburan karena merasa tidak sendirian. Jahatnya aku. Sibuk menatapnya lama hingga tak kusadari wanita itu telah menoleh ke arahku menampilkan wajah sedihnya yang tidak dibuat-buat.
"Kau juga gagal menikah?" Maskara di matanya luntur lalu turun ke pipi. Bibirnya sedikit bengkak karena digigit sendiri, mungkin karena dia geram dan kesal dan dia mengajukan pertanyaan yang mengingatkanku kembali tentang batalnya pernikahanku dengan Sandra.
"Iya." Aku mengangguk lalu menatap ujung sepatu pantofel yang sudah kusemir rapi lima kali sebelum kupakai menuju KUA.
"Apakah calonmu berselingkuh?" Dia bertanya lagi. Kepalanya disandarkan di dinding KUA kemudian matanya terpejam.
"Sepertinya," jawabku tak yakin karena aku masih mempercayai bahwa dia sangat setia. Tujuh tahun kami saling mencintai tentu saja bukan waktu yang pendek untuk diakhiri dengan perselingkuhan.
"Apakah kamu diselingkuhi juga?" tanyaku hati-hati. Perasaan kami berdua pasti seperti kaca yang sedang rapuh, retak dan bisa pecah berkeping-keping maka aku harus berhati-hati mengajukan pertanyaan.
Namun, dia malah menangis kencang menepuk-nepuk dadanya kemudian dengan terbata karena isakan dia berkata bahwa calon suaminya meninggal dalam kecelakaan saat menuju KUA tadi.
Langit malam di atas KUA menampakkan bintang-bintang yang riang berkelap-kelip seolah bergembira atas nasib kami yang tragis. Kutunggu tangis wanita itu reda sebelum kutawarkan diri untuk mengantarkannya pulang. Meskipun aku sedih, sebagai lelaki tak bisa kutampik bahwa ada kekhawatiran membiarkan wanita muda yang sedang labil itu sendirian. Kemudian fakta menarik lainnya membuatku terhenyak.
"Aku tak tahu harus pulang ke mana. Kami akan berbulan madu ke Lombok, seharusnya malam ini kami terbang untuk kemudian tinggal di rumahnya setelah bulan madu. Tapi semua tak sejalan dengan rencana kami."
"Ja-jadi, kau kawin lari? Kabur dari rumah?" Aku berharap jawabannya bukan iya.
Mengangguk. Wanita itu memberiku jawaban yang menyedihkan. Kutaksir wanita itu lima tahun di bawahku dan dia ditipu oleh janji manis lelakinya yang meninggal hari ini. Bisa-bisanya dia menikah tanpa restu keluarganya.
"Lalu, keluarga suamimu?"
Dia meraung. "Aku bahkan tidak boleh datang melihat jenazahnya," teriaknya penuh kemarahan sekaligus kesedihan bercampur jadi satu. Malang sekali nasibnya, lebih dari nasibku.