Oktober 2006.
Aku tak sadarkan diri, tubuh ini tergolek lemah tak berdaya. Aku ingin terjaga. Namun, badan tidak meresponsnya. Mata yang terpejam ingin kubuka, tapi terasa berat. Mulutku masih sempat meracau, “Mau dibawa kemana aku ini?” Aku seperti merasakan sekarat, bagai berada diambang pintu kematian. Aku masih sempat teringat, ada dua orang pria yang mendobrak rumah, menculik, membius, dan membawaku pergi dengan paksa, memasukkan ke mobil Jeep, dan membawaku entah kemana.
Beberapa jam kemudian aku mulai terbangun, mata terbuka. Tapi, tubuh masih terasa lemas. Aku telah terbaring di ranjang, dengan tangan dan kaki terikat tali yang amat kuat di besi-besi tepiannya. Aku bergumam, “Dimana ini? Apakah aku sudah mati? Apakah tempat ini berada di surga atau di neraka?” Tapi, mengapa aku ada di suatu ruangan kecil dan sempit, dengan satu tempat tidur dalam posisi terikat? Pertanyaan itu sempat terbesit dalam benakku. Dalam kebingungan yang amat sangat, emosiku tidak terkendali dan berteriak, “Tolong-tolong, apakah ada orang diluar? tolong lepaskan Aku!” Berulang kali. Aku berharap ada orang yang mendengar, membuka pintu, dan melepaskan ikatan, serta menjelaskan semua yang terjadi pada diriku. Aku juga meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan itu sekuat tenagaku, Namun sia-sia, ikatan itu begitu kuat bagaikan lilitan seekor ular piton yang hendak memangsa korbannya. Mataku terus menatap pintu yang menghadap ke arah ranjang, berharap ada seorang yang mau berbelas kasih melihat keadaanku.
Lama kunanti sampai aku tidak tau perputaran waktu, apakah siang ataukah malam. Karena, tidak ada cahaya matahari yang menyelinap masuk, dan juga tidak ada jam yang berdetik. Aku hanya ditemani lampu pijar yang selalu bersinar, udara terasa pengap dan nafas menjadi sesak bagaikan naik keatas langit. Ditengah rasa frustasiku tiba-tiba terdengar suara rengekan pintu yang terbuka, di balik pintu itu berdiri seorang wanita muda berparas ayu dengan rambut panjang dikepang ke belakang, menjuntai menutupi punggungnya. Dia mengenakan baju putih yang membuatnya semakin bercahaya. Aku berkata dalam hatiku, “Apakah Dia seorang bidadari yang dapat melepaskan ikatan dan kepenatanku selama ini?” Aku berharap dia dapat memperlakukanku dengan baik, dan mau memperkenalkan dirinya. Namun, harapanku sirna karena dia tidak banyak berkata-kata. Datang dengan membawa sepiring nasi dan lauk-pauknya, serta memaksaku untuk menelannya, tanpa membuka tali yang mengikat tangan ini. Aku merasa canggung dan kesulitan untuk makan. Namun, dia tetap memaksa.
“Bukalah mulutmu, dan makanlah!” sungutnya.