September 2005
Siang itu di terminal bayangan Cililitan, aku dengan sabarnya menunggu bus patas yang setia mengawal setiap keberangkatan menuju kampus di selatan Jakarta. Pada masa itu belum ada moda transportasi umum yang terintegrasi. Yang ada hanyalah bus yang sudah usang dan tua, terkesan kumuh karena dijejali oleh manusia melebihi kapasitas penumpang. Bahkan jika jam-jam sibuk, ada yang sampai miring penuh sesak bus itu melaju. Beruntung aku mendapati bangku kosong, tepat di samping jendela yang merupakan tempat favorit bagi semua orang, karena dapat merasakan sensasi semilir angin dalam perjalanan.
Kupikir daripada “cengo” gak melakukan apa-apa, lebih baik membuka kembali draft skripsi yang sudah dibuat dari kemarin. Ya! inilah aku, seorang Mahasiswa yang rela menjadi Donatur Kampus, karena terus membayar biaya kuliah sampai semester sepuluh. Walaupun sebenarnya aku gak ikhlas. Tapi, mau gimana lagi! skripsiku tidak semulus jalan tol; banyak melewati jalanan yang menanjak penuh onak dan duri, tidak tau kapan sampai tujuan. Sementara, teman seperjuangan telah lulus dan memetik buahnya, dengan bekerja di perusahaan besar yang kini duduk manis dalam gedung perkantoran menjulang tinggi di daerah segitiga emas Ibukota.
Namaku Dhefin Mahisa Rakryan, terlahir di negeri yang penuh dengan ujian ini pada awal tahun 80-an. Periode dimana musik disko klasik mewabah. Aku dibesarkan di pinggiran kota Jakarta yang asri, kala itu masih terdapat sawah yang terhampar, walaupun tidak terlalu luas. Berasal dari keluarga yang sederhana, Ayah bekerja sebagai buruh pabrik, sedangkan Ibu menjadi juru masak di rumah seorang ekspatriat. Tidak ada yang perlu dipuji dari penampilanku. Tampangku biasa saja, seorang lelaki berkacamata dengan tinggi yang cukup untuk mengganti lampu bohlam di plafon rumah. Walaupun aku gak suka olahraga, tapi berat badan ideal. Mungkin salah satu sebabnya karena sering berlari mengejar bus kota hampir setiap hari, jika tertinggal dan malas menunggu bus yang datangnya gak jelas.
Saat ini aku masih menyandang status sebagai Mahasiswa di STMIK Jamantara jurusan Manajemen Informatika. Salah satu kampus yang dikelilingi oleh gedung-gedung pencakar langit di kawasan elit Ibukota. Ada beberapa pertimbangan mengapa aku memilih kampus ini, salah satunya karena ingin mengganti suasana berbeda yang sebelumnya tinggal di pinggiran Jakarta, menjadi lalu lalang melintasi gemerlapnya kota. Yang kedua, karena kampus ini terkenal karena gengsi dan prestasinya. Yang ketiga, karena kampus ini membuka jurusan Manajemen Informatika sesuai dengan passionku di bidang Information Technology dengan Strata Satu yang bisa menerima mahasiswa baru dari jurusan Sosial. Dan yang terakhir, biaya perkuliahan disini termasuk terjangkau oleh kantong orang tuaku, karena jurusan yang dimau, baru dibuka kira-kira lima tahun lalu. Tanpa tawar menawar lagi, dibungkuslah keputusanku untuk kuliah di kampus ini.
Di dalam bus, aku mencoba menjadi editor sendiri untuk penulisan skripsiku, sebelum diserahkan kepada Dosen Pembimbing Materi yaitu Pak Badar. Tapi, di kalangan teman-teman Mahasiswa biasa dijuluki “Mr. Baldy” karena rambutnya yang tandus, seperti kondisi sebagian besar hutan di Indonesia. Aku tidak tau, mengapa bisa sampai apes terkena sial mendapatkan Dosen killer seperti dia. Pembawaannya yang kaku, tempramental, dan tidak pernah berkelakar sama sekali, membuat dia ditakuti dalam ruang kelas yang terasa hening, jauh dari candaan atau celetukan para Mahasiswanya. Pernah suatu pagi aku datang terlambat karena hujan semalaman yang tidak kunjung henti. Saat aku masuk dalam kelas komunikasi data yang dia ampuh, dia berkata,
“Saudara tinggal di mana?” Dengan intonasi yang meninggi.