Aku tidak sanggup lagi berkata-kata. Cukup sudah masalah skripsi ini menjadi beban berat di punggung kedua orang tuaku, dan aku belum bisa membantu meringankannya. Kepala ini tidak mampu menahan laju air yang menggenangi kelopak mata yang bersembunyi di balik lensaku.
Dalam relung hatiku berkata, “Maafkan aku Ibu, anakmu ini telah menjadi anak durhaka, dengan menyeret Ibu ke dalam lautan masalahku yang tidak bertepi.”
Ibu sudah mengerti, apabila aku diam seribu bahasa dan berkaca-kaca seperti ini, langsung datang mendekap dengan pelukan erat yang membuat aku seakan hanyut terbuai oleh kasih sayangnya. Inilah kelemahanku yang tidak bisa berucap karena rapuhnya hati. Jika aku paksakan untuk berbicara, rasanya ada gelegak air yang mendidih dalam dadaku, menunggu untuk pecahnya tangis.
***
Malam kian larut, menggiring cahaya bulan ke tempat peraduannya. Kesedihanku belum kunjung usai, beberapa tokoh terkenal seperti Damon Albarn, Kurt Cobain, dan Pavel Nedved yang bertengger di dinding kamar, turut menjadi saksi atas kegalauan yang aku alami. Di saat seperti ini yang aku butuhkan adalah seorang yang mau menjadi pendengar dan tempat aku muntahkan segala isi hati. Dan seseorang yang layak untuk itu adalah Asmara. Dia adalah sahabat terdekatku. Kami dipertemukan dalam satu SMA yang sama di kelas dua. Nama lengkapnya adalah Asmara Ayu Wandhira, tapi aku menyebutnya dengan panggilan sayang ‘Ciku’.
Begini cerita dibalik nama itu. Dulu setelah lulus SMA, aku sempat lost contact dengannya, karena kami sibuk dengan kuliah masing-masing di kampus yang berbeda. Dia terpilih untuk memasuki kampus favorit di negeri ini, yaitu Universitas Sora Indonesia. Tiba-tiba aku kepikiran ingin bertemu kembali, karena aku masih menyimpan nomor telepon rumahnya. Kebetulan ada film Indonesia yang fenomenal saat itu yaitu Ada Apa Dengan Cinta. Tanpa basa-basi aku langsung mengajaknya untuk menjadi bagian dari sejarah perfilman Indonesia, dengan menontonnya di bioskop. Karena film itu menjadi awal bangkitnya film Indonesia yang sekian lama telah mati suri. Setelah mengunjungi bioskop di mal yang terdekat, semua tiket telah ludes terjual, bahkan antriannya sampai panjang mengular. Di tengah rasa frustasi kami dalam sulitnya mendapatkan tiket, aku kemudian menghubungi temanku yang bekerja di Metropolitan Mal Bekasi untuk booking duluan disana. Akhirnya usaha kami tidak sia-sia. Aku bisa melihat artis idolaku bermain, yaitu Dian Sastro yang semua VCD-nya sudah aku koleksi, mulai dari debutnya di film Bintang Jatuh hingga penampilannya memerankan bawang merah dalam pertunjukan teater Bawang Merah Bawang Putih.
Lalu selang beberapa hari setelah nonton, gak tau kenapa, seperti ada aliran listrik mengalir di jantungku yang meletup-letup. Apakah aku telah merasakan jatuh cinta kembali yang sudah sekian lama aku tidak merasakannya. Rasa ini agak aneh, mengingat Asmara adalah teman baikku yang telah lama aku jaga agar perasaan suka ini tidak tumbuh di pekarangan persahabatan. Dan juga, sebenarnya dia adalah sahabat dari mantan kekasihku, lebih tepatnya teman sebangkunya waktu SMA dulu. Tapi aliran listrik ini semakin kuat, dan aku takut, jika aku tidak mengatakan cinta kepadanya, akan menimbulkan korsleting yang akhirnya memicu untuk terbakar api asmara.
Dengan hati yang bimbang, kucoba beranikan diri untuk menulis surat cinta. “Hah, surat cinta?!” Hari gini sepertinya mengungkapkan perasaan hati lewat surat memang terlihat sudah gak keren lagi ya?” Tapi bagiku, orang yang bisa merangkai kata indah di secarik kertas untuk membujuk hati seseorang itu “sesuatu” banget, dan sudah mulai langka di zaman sekarang ini. Isi surat itu kurang lebih seperti ini.