Angin berdesir menerpa wajahku yang terbalut oleh helm full face tidak berkaca milik Ayah. Matahari sedang naik di sepenggalan pagi ini, terasa hangat menyengat kulit tanganku yang kubiarkan telanjang tidak kusarungi. Di sepanjang jalan tidak henti-hentinya kuberdecak kagum atas pesona cluster perumahan Ciku yang begitu indah. Jalan utamanya lebar, kiri-kanannya ditumbuhi pohon palem dan tanaman hias. Ada juga landmark patung-patung putih, seperti pada zaman Romawi kuno. Memang, selain untuk perumahan, pihak developer juga membuatnya untuk tujuan wisata. Maka tidak heran jika rumah-rumah disini, dibuat dengan tema kota-kota indah dunia.
Walaupun letaknya sudah berbeda provinsi dari rumahku di Jakarta Timur, namun mudah dijangkau dengan motor bebek yang sedang aku pelintir tuas gasnya tidak lebih dari 60 km/jam. Hanya dalam hitungan setengah jam, Aku sudah memasuki area depan Cluster Oslo. Dari namanya terdengar seperti nama kota di eropa utara. Dan memang gaya bangunan Cluster ini, mengusung konsep Scandinavian.
Tak terasa laju motorku berhenti di depan sebuah rumah berukuran 6 x 18 meter yang tidak mempunyai pagar. Dari luar, aku melihat balkon di lantai 2 yang tampak tegas dengan atap segitiga ditambah secondary skin dari besi putih berbentuk puzzle, sebuah tempat yang nyaman bagi Ciku menghabiskan waktunya beristirahat dan bermimpi untuk menaklukkan cita-citanya. Di sanalah biasanya dia keluar, sekedar untuk memastikan kedatanganku dengan ciri khas suara deru mesin motor legendaris Ayah.
“Hey, Kamu, tunggu Aku di bawah, yah!” Suara Ciku terdengar lirih dari atas balkon. Aku mengangkat ibu jariku tanda setuju. Tiba-tiba batinku berkata, “Mmh … biasanya kalo weekend begini papanya ada di rumah, mana Aku datang dengan tangan hampa lagi, duuhh … kenapa bisa lupa gak prepare dulu!” Lalu dengan cueknya, aku memberanikan diri untuk berdiri di depan pintu yang telah terbuka. Sebenarnya ini bukan pertama kali aku bertemu dengan orang tua Ciku, karena sejak masih mengenakan seragam putih abu-abu, Aku dan teman-teman sudah terbiasa main ke rumah ini. Hanya saja, aku tidak tau, apakah orang tua Ciku mengetahui kedekatan aku dengan putrinya saat ini, atau menganggap tidak ada hubungan yang spesial diantara kami.
“Assalamu’alaikum” kuucapkan salam. Dan langsung disambut dengan ucapan balasan, “Wa’ alaikumussalam … silakan masuk, Dhef” Suara yang tegas dan penuh wibawa menggema di ruang tamu. Kewibawaan dari seorang Bapak yang menjadi pemimpin rumah tangga, sekaligus menjadi pemimpin perusahaan. Yah! beliau adalah seorang Direktur Utama dari perusahaan yang memproduksi alat pemadam api ringan yang produknya terpampang di setiap sudut gedung, restoran, pabrik, sekolah dan tempat-tempat strategis lainnya. Tapi beliau tetap stay humble dan down to earth ketika berbicara dengan orang lain.
Perlahan aku mulai masuk ke dalam ruang yang terang oleh cahaya mentari, karena di setiap sisi dindingnya terdapat banyak kaca yang memanjang vertikal ke bawah, tanpa ada teralis sedikitpun. Sebagian dindingnya juga dihiasi dengan lukisan-lukisan abstrak yang akupun tidak tau filosofi di balik karya seni itu. Warna tone ruangan ini terbilang minimalis, dengan cat tembok berwarna abu-abu muda yang selaras dengan warna furniturnya. Ditambah dengan lantai kayu dan sofa lawson putih menciptakan suasana yang cozy dan elegan.
Di tengah ruangan telah nampak seorang yang duduk bersandar di sofa, dengan asyiknya membolak-balik lembaran koran Harian Pagi dan bergerak bangun hanya sekedar menyalamiku. Suara alunan musik instrumental Kenny-G kegemaran beliau, terasa memenuhi ruangan menambah syahdu sabtu pagi yang indah ini.
“Pagi, Om, apa kabar?” sapaku hangat untuk membuka percakapan dengan beliau.
“Alhamdulillah baik, duduk-duduk ...,” jawabnya sambil merapikan koran yang dipegangnya.
“Gimana rencananya hari ini, jadi nonton festival jaz di kampus Asmara?” Imbuhnya.
“Iya, Om, ini saya mau antar Asmara kesana,” sahutku.
“Sebenarnya Om juga suka sama genre musik jaz, ada beberapa koleksi kaset seperti Natalie Cole, Al Jerau, Kenny Logins dan lainnya di ruang tengah.”